Cekricek.id, Padang - Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (KMSS) menentang keras pemberian izin pemanfaatan hutan kepada PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai. KMSS menilai rencana usaha tersebut tidak layak dari segi lingkungan dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada 28 Maret 2023. Izin tersebut memberikan hak kepada PT SPS untuk mengelola kawasan hutan seluas 20.706 hektare di Pulau Sipora.
"Rencana usaha ini tidak layak lingkungan karena melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," kata Rifai, juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat, dalam keterangan tertulis, Senin (17/6/2025).
Rifai menjelaskan bahwa Pulau Sipora yang berukuran 615,18 kilometer persegi termasuk kategori pulau kecil berdasarkan undang-undang tersebut. Menurutnya, pengelolaan pulau kecil seharusnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, pariwisata berkelanjutan, dan ketahanan pangan lokal.
"Sebagai hukum khusus yang berlaku atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka keberlakuan UU Kehutanan dikesampingkan berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis," tambah Rifai.
Koalisi juga menemukan sejumlah kekeliruan serius dalam proses perizinan. Salah satunya adalah ketidaksesuaian nomor Klasifikasi Baku Lapangan Berusaha Indonesia (KBLI) dalam permohonan izin lingkungan. PT SPS memiliki kode KBLI 02111 untuk pemanfaatan kayu hutan tanaman, namun dalam permohonan mencantumkan kode KBLI 02121 untuk pemanfaatan kayu hutan alam.
Temuan mengejutkan lainnya adalah kesalahan koordinat lokasi dalam dokumen perizinan. Dari 132 titik koordinat yang tercantum dalam surat persetujuan pemanfaatan ruang, sebanyak 2.407 hektare ternyata berada di Kelurahan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat.
"Kesalahan ini merupakan kekeliruan fatal dan tidak dapat ditoleransi karena menyangkut legalitas lokasi perizinan," tegas Rifai.
Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT SPS juga dinilai bermasalah. Koalisi mengkritik kajian rona awal lingkungan yang tidak komprehensif, terutama terkait wilayah pesisir dan perairan laut yang tidak masuk dalam area kajian.
Perusahaan berencana membangun atau merevitalisasi jalan sepanjang 130 kilometer, namun tidak menjelaskan sumber material konstruksi. Hal ini berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang tidak terpantau, mulai dari perubahan bentang alam hingga sedimentasi.
"Tidak terdapat data awal mengenai keberadaan satwa endemik dan satwa liar yang dilindungi di lokasi rencana usaha," kata Rifai. Menurutnya, informasi dasar seperti jumlah populasi, wilayah jelajah, dan pola migrasi satwa merupakan elemen penting untuk menilai signifikansi dampak terhadap keanekaragaman hayati.
Dokumen AMDAL juga mengabaikan kelompok marginal seperti perempuan pembudidaya toek (pangan lokal) yang mata pencahariannya terancam akibat aktivitas penebangan. Proses penyusunan AMDAL dinilai tidak partisipatif karena hanya mengundang empat orang dari setiap desa dalam satu kali pertemuan.
Pulau Sipora merupakan daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Sepanjang 2024, telah terjadi 29 kali kejadian bencana di Sipora, termasuk gempa bumi sebanyak tujuh kali, cuaca ekstrem tujuh kali, banjir enam kali, dan tanah longsor tiga kali.
"Penebangan hutan dalam skala besar akan meningkatkan kerentanan pulau dan penduduknya, terutama pada saat tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana," ungkap Rifai.
Berdasarkan temuan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat menuntut pembatalan izin PBPH PT SPS karena cacat prosedural, substansi, dan administratif. Mereka juga meminta pemerintah pusat dan daerah menegakkan ketentuan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat diminta menyatakan rencana usaha PT SPS tidak layak lingkungan. Koalisi juga menolak seluruh bentuk kegiatan penebangan hutan alam di Pulau Sipora karena akan memperparah krisis ekologis dan mengancam keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adat.