Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital

Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital

Ilustrasi. [Foto: Dibuat dan dihasilkan oleh AI]

Cekricek.id - Bayangkan jika setiap tweet yang Anda baca di Twitter bisa menceritakan kisah lebih besar tentang perubahan politik sebuah bangsa. Inilah yang terjadi di Malaysia pasca-Pemilihan Umum ke-14 (GE14) pada tahun 2018. Sebuah penelitian komprehensif yang menganalisis lebih dari 4.000 tweet mengungkap fenomena menarik: platform media sosial telah menjadi arena baru bagi kebangkitan nasionalisme Melayu yang berbeda dari masa lalu.

Penelitian yang dilakukan oleh Shahnon Mohamed Salleh dan Ismail Sualman dari Universiti Teknologi MARA ini bukan sekadar analisis data digital biasa. Mereka berhasil menangkap momen bersejarah ketika frustrasi politik masyarakat Melayu bertransformasi menjadi gerakan digital yang terorganisir dan berpengaruh.

Ketika Kemenangan Berubah Menjadi Kekecewaan

Kemenangan Pakatan Harapan (PH) dalam GE14 awalnya disambut euphoria sebagai "tsunami politik" yang mengakhiri era dominasi Barisan Nasional (BN) sejak kemerdekaan. Namun, bulan madu politik tersebut ternyata berumur pendek, khususnya di kalangan pemilih Melayu.

"Dalam beberapa bulan setelah GE14, lebih banyak anggota parlemen UMNO BN yang menyeberang ke PPBM, sehingga mengurangi pengaruh dan mayoritas BN di parlemen," ungkap penelitian ini. Perpindahan politik ini menciptakan ketidakstabilan yang memicu kecemasan di kalangan masyarakat Melayu tentang masa depan posisi politik mereka.

Yang menarik, penelitian ini mengidentifikasi tiga fase kebangkitan nasionalisme Melayu digital: fase "kebangkitan" (awakening), "membangun momentum" (momentum building), dan "persatuan dan solidaritas" (unity and solidarity). Setiap fase memiliki karakteristik dan pemicu yang berbeda, namun semuanya terhubung dalam narasi besar tentang identitas dan kelangsungan hidup politik.

Dari Demonstrasi Anti-ICERD hingga Gerakan #BMF

Momentum kebangkitan dimulai dari protes anti-ICERD (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) pada Desember 2018. Demonstrasi ini menjadi salah satu protes terbesar yang pernah disaksikan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir. Untuk pertama kalinya sejak GE14, dua partai rival utama Melayu, UMNO dan PAS, bersatu dengan organisasi non-pemerintah untuk memprotes proposal pemerintah.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah bagaimana isu-isu yang tampak teknis dapat membakar emosi publik. Proposal pengenalan script Jawi dalam silabus sekolah vernakular, misalnya, memicu kontroversi besar. "Ketika berita tersebar bahwa anak-anak di sekolah vernakular perlu belajar Jawi, banyak yang marah dan menentang langkah tersebut," tulis peneliti.

Dong Zong, organisasi pendidikan Tionghoa, yang menolak keras silabus Jawi bahkan diserang sebagai anti-nasional. Perdana Menteri Tun Dr Mahathir Mohamad ikut mengecam Dong Zong sebagai rasis karena pandangan mereka. Bagi masyarakat Melayu, termasuk kalangan moderat perkotaan, sikap Dong Zong dalam menentang Jawi dinilai sebagai serangan terhadap identitas nasional.

Fenomena #BMF: Nasionalisme Ekonomi Digital

Memasuki fase "membangun momentum", muncul gerakan Buy Muslim First (#BMF) yang mengajak Muslim untuk memprioritaskan produk dan jasa bumiputera Muslim. Gerakan ini mendapat respons luar biasa dari publik. Grup Facebook resmi BMF berhasil mengumpulkan jutaan anggota hanya dalam beberapa hari.

"Sebagai nama mengimplikasikan, kampanye ini tidak pernah bertujuan memboikot barang dan jasa non-Muslim, tetapi mengajak Muslim untuk memprioritaskan produk Melayu dan bumiputera," jelas penelitian ini. Meski begitu, Menteri Keuangan Lim Guan Eng menganggapnya tidak tepat dan berargumen bahwa boikot seperti itu hanya akan berdampak negatif.

Twitter sebagai Termometer Politik Digital

Yang membuat penelitian ini unik adalah penggunaan analisis big data untuk memahami sentimen politik. Dari 4.222 data mentah yang diekstrak, 1.231 data dipilih dan dibersihkan untuk analisis mendalam. Hasilnya mengejutkan: 79 persen pengguna Twitter yang membahas isu politik Melayu adalah orang Melayu sendiri, sementara hanya 6 persen Tionghoa dan 2 persen India.

"Data menunjukkan bahwa 58 persen tweet menunjukkan kecenderungan pro-BN atau PAS, sementara hanya 36 persen yang pro-PH," ungkap penelitian. Ini menunjukkan adanya sentimen anti-Pakatan Harapan yang menguat di platform digital, berbeda dengan prediksi survei umum yang menunjukkan dukungan mayoritas.

Realitas Digital vs Realitas Politik

Temuan paling menarik adalah korelasi antara sentimen media sosial dengan realitas politik. Survei Merdeka Center pada Juni-Juli 2019 menunjukkan 41 persen persepsi "bahagia" terhadap Pakatan Harapan, sementara di Twitter hanya 36 persen. "Dapat diargumentasikan bahwa ada korelasi antara populasi umum dan sentimen di media sosial," simpul peneliti.

Lebih jauh, analisis berdasarkan ras menunjukkan pola menarik: dukungan terhadap BN dan PAS tertinggi di kalangan Melayu dengan 66 persen, dibandingkan 28 persen pro-PH. Di kalangan Tionghoa, sentimen pro-PH mencapai 71 persen, sementara pro-BN hanya 22 persen. Kalangan India juga menunjukkan dukungan tinggi terhadap PH dengan 61 persen.

Implikasi bagi Demokrasi Digital Malaysia

Penelitian ini mengungkap bahwa media sosial bukan hanya cermin opini publik, tetapi juga ruang aktif pembentukan identitas dan mobilisasi politik. Twitter, yang sering dianggap platform liberal dan urban, ternyata didominasi oleh diskursus nasionalisme Melayu yang konservatif.

"Secara teoritis, ini mengarah pada pertanyaan sejauh mana emosi kebangkitan nasionalis dirasakan secara online? Atau mungkin lebih tepatnya, apakah realitas politik yang kita ketahui hari ini dibentuk dan didorong oleh apa yang terjadi online?" tulis peneliti.

Yang tidak kalah penting, penelitian ini menunjukkan bahwa polarisasi politik tidak hanya terjadi secara rasial, tetapi juga melintasi politik, nilai, agama, dan wilayah. Media sosial, alih-alih menjadi ruang dialog, justru memperkuat echo chamber yang memperdalam perpecahan sosial.

Baca juga: Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun

Pelajaran untuk Masa Depan

Kebangkitan nasionalisme Melayu digital pasca-GE14 memberikan pelajaran penting tentang dinamika politik Malaysia kontemporer. Kegagalan Pakatan Harapan dalam mengelola ekspektasi dan frustrasi masyarakat Melayu pada akhirnya berkontribusi pada kejatuhan pemerintahan mereka pada Februari 2020.

Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya memahami lanskap digital dalam analisis politik modern. "Korelasi yang signifikan dalam studi ini menunjukkan bahwa ras dan agama terus menjadi penting, terutama di kalangan mayoritas Muslim Melayu, dan terbukti menjadi salah satu kekuatan dominan yang menyebabkan kejatuhan pemerintahan Pakatan Harapan," simpul peneliti.

Bagi pemimpin politik masa depan, penelitian ini menjadi pengingat bahwa era digital membutuhkan pendekatan komunikasi yang berbeda. Media sosial bukan sekadar alat kampanye, tetapi ruang hidup tempat identitas dan aspirasi politik terbentuk setiap hari. Mengabaikan dinamika ini sama dengan mengabaikan suara rakyat di era digital.

Baca Juga

Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Mengungkap Kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dari Jambi hingga Dharmasraya
Mengungkap Kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dari Jambi hingga Dharmasraya
Eksistensi Trowulan: Menyingkap Kejayaan Majapahit di Era Rajasanagara
Eksistensi Trowulan: Menyingkap Kejayaan Majapahit di Era Rajasanagara
Terungkap! Manusia Purba Menghuni Dataran Tinggi Persia Selama 20.000 Tahun
Terungkap! Manusia Purba Menghuni Dataran Tinggi Persia Selama 20.000 Tahun