Cekricek.id - Setiap tahun pada tanggal 10 Muharram, pantai Pariaman di Sumatera Barat berubah menjadi panggung spiritual yang memukau. Ribuan orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul untuk menyaksikan sebuah tradisi yang telah berusia lebih dari 1.300 tahun: Tabuik. Bukan sekadar festival budaya biasa, tradisi ini adalah perpaduan unik antara duka mendalam dan perayaan yang meriah, antara sejarah Islam dan kearifan lokal Minangkabau.
Bayangkan sebuah replika kendaraan Bouraq berukuran besar dengan kepala wanita cantik dan tubuh kuda gemuk, dihias dengan warna-warni cerah dan ornamen emas berkilau. Inilah Tabuik, simbol peti jenazah yang konon digunakan untuk mengangkat jasad Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, ke langit setelah tragedi berdarah di Padang Karbala, Irak, pada tahun 681 Masehi.
Tradisi Tabuik lahir dari luka sejarah yang mendalam. Pada 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husein bin Ali gugur dalam pertempuran yang tidak seimbang melawan pasukan Ubaidillah bin Zaid. Tubuhnya yang sudah wafat diperlakukan dengan tidak wajar, kepalanya bahkan dipenggal oleh tentara Muawiyah. Bagi sebagian Muslim, terutama pengikut aliran Syiah, peristiwa ini bukan hanya tragedi politik, tetapi juga kehilangan spiritual yang mendalam.
Pariaman, kota seluas 73,36 kilometer persegi di pesisir barat Sumatera ini menjadi rumah bagi tradisi yang paradoksal: memperingati kematian dengan kemeriahan, mengenang duka dengan warna-warni.
Farid Prima Halim dalam Jurnal Suara Politik Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat, yang meneliti fenomena ini menjelaskan bahwa Tabuik merupakan manifestasi sempurna dari prinsip hidup Minangkabau: "Alam Takambang Menjadi Guru" - alam yang terbentang menjadi guru. Prinsip ini mengajarkan bahwa kehidupan spiritual dan duniawi tidak boleh dipisahkan, keduanya harus saling melengkapi.
Dalam konteks budaya Minangkabau yang telah memeluk Islam sejak abad ke-14, Tabuik menjadi bukti nyata bagaimana Islam beradaptasi dengan nilai-nilai lokal tanpa kehilangan esensi spiritualnya. Ini bukan sekadar adopsi budaya asing, tetapi negosiasi kreatif antara warisan nenek moyang, ajaran Islam, dan pengaruh modernitas.
Tujuh Tahapan Sakral
Prosesi Tabuik bukanlah acara satu hari. Ritual ini melibatkan tujuh tahapan yang masing-masing sarat makna: mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam (ratapan), mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan diakhiri dengan membuang tabuik ke laut.
Setiap tahapan memiliki dimensi sakral yang menghubungkan peserta dengan memori kolektif umat Islam tentang pengorbanan Imam Husein. Saat mataam, misalnya, masyarakat larut dalam ratapan yang menggambarkan duka mendalam atas kehilangan pemimpin spiritual mereka. Namun ketika tabuik diarak menuju pantai, suasana berubah menjadi karnaval yang meriah dengan musik tradisional dan tarian.
Yang menarik, dalam tradisi ini tidak ada pemisahan tegas antara yang sakral dan yang profan. Anak-anak bermain di sekitar tabuik, pedagang menjual makanan tradisional, wisatawan mengambil foto, sementara para tetua tetap khusyuk dalam doa. Semua menjadi bagian dari satu kesatuan spiritual yang utuh.
Magnet Wisata Internasional
Apa yang dimulai sebagai ritual keagamaan lokal kini telah berkembang menjadi daya tarik wisata internasional. Setiap tahun, wisatawan dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, bahkan dari berbagai negara lain, datang khusus untuk menyaksikan Tabuik. Bagi masyarakat Pariaman, ini menjadi berkah ekonomi yang tidak terduga.
Namun, komersialisasi ini menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, perhatian dunia internasional membantu melestarikan tradisi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa esensi spiritual Tabuik akan terkikis oleh kepentingan pariwisata.
Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Pariaman berhasil menjaga keseimbangan ini dengan tetap mempertahankan nilai-nilai religius sebagai inti tradisi, sambil membuka diri terhadap apresiasi budaya dari luar. Mereka memahami bahwa Tabuik bukan hanya milik mereka, tetapi juga warisan peradaban yang perlu dibagikan dengan dunia.
Refleksi Identitas Minangkabau
Tabuik menjadi cermin identitas Minangkabau yang kompleks. Sebagai masyarakat yang mayoritas Muslim, mereka berhasil mengintegrasikan ajaran Islam dengan kearifan lokal tanpa kehilangan karakteristik budayanya. Ini berbeda dengan banyak daerah lain di Indonesia di mana proses Islamisasi seringkali menghapus tradisi pra-Islam.
Keunikan Tabuik juga terletak pada kemampuannya menjembatani perbedaan aliran dalam Islam. Meskipun berakar dari tradisi Syiah, ritual ini diterima dan dijalankan oleh masyarakat Minangkabau yang mayoritas Sunni. Hal ini menunjukkan kematangan spiritual masyarakat setempat yang mampu menempatkan nilai-nilai universal di atas perbedaan sektarian.
Tradisi ini juga mencerminkan karakter Minangkabau yang terbuka terhadap pengaruh luar namun tetap kokoh pada identitas dasarnya. Seperti filosofi "Alam Takambang Menjadi Guru", mereka belajar dari berbagai sumber namun tetap mempertahankan keunikan budayanya.
Warisan untuk Masa Depan
Di era globalisasi ini, Tabuik menghadapi tantangan untuk tetap relevan bagi generasi muda. Namun, daya tarik tradisi ini justru semakin menguat karena kemampuannya menyajikan pengalaman spiritual yang autentik di tengah kehidupan modern yang semakin sekuler.
Bagi masyarakat Pariaman, Tabuik bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga visi masa depan. Tradisi ini mengajarkan bahwa perbedaan dapat disatukan, duka dapat diubah menjadi kekuatan, dan spiritualitas dapat hidup berdampingan dengan modernitas.
Baca juga: Siak Lengih dan Masjid Keramat: Warisan Spiritual yang Mengubah Wajah Kerinci
Ketika replika Bouraq itu akhirnya dibuang ke laut pada puncak ritual, tidak ada kesedihan di wajah masyarakat. Mereka tahu bahwa tahun depan, mereka akan kembali berkumpul, kembali mengenang, dan kembali merayakan. Karena Tabuik bukan tentang akhir, tetapi tentang kontinuitas - kontinuitas memori, kontinuitas spiritualitas, dan kontinuitas identitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.
Dalam tradisi Tabuik, Pariaman telah menemukan formula unik untuk menjaga warisan sejarah tetap hidup: dengan merayakannya bersama dunia, namun tetap mempertahankan jiwa dan ruhnya untuk masyarakat lokal.