Siapa Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA?
Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA adalah seorang ulama besar, pendidik, politikus, sekaligus sastrawan. Ia dilahirkan pada 17 Februari 1909 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat.
Ayahnya, juga guru agama HAMKA, adalah Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul pendiri Sumatera Thawalib.
Selain itu ia menimba ilmu kepada kakeknya Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh atau dikenal sebagai Tuan Kisa I.
HAMKA juga berguru pada Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, RM. Suryapranoto, Ki Bagus Hadi Kusumo. HAMKA juga aktif bertukar pikirian dengan kaum nasionalis seperti HOS Tjokroaminoto.
Kehidupan Hamka
HAMKA aktif sebagai jurnalis sejak 1920 pada Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Ia menjadi editor Kemajuan Masyarakat pada 1928. Pada 1936 mendirikan dan menjadi editor majalah AI Mahdi di Makassar.
Selain itu, HAMKA juga pernah menjadi editor untuk majalah Pedoman Masyrakat, Pandji Masyarakat dan Gema Islam. HAMKA memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang agama, politk, filsafat, dan sastra.
Sejak 1925 HAMKA aktif dalam organisasi Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Ia aktif berkiprah dan kemudian memimpin Muhammadiyah Sumatera barat pada 1946. Pada 1953, HAMKA terpilih sebagai penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
HAMKA aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam Sarekat Islam pada 1925. Ia aktif berpidato menentang pendudukan kembali Belanda atas Indonesia, dan mendampingi gerilya di sekitar Medan.
Atas peran serta dan kegigihannya ia diangkat sebagai ketua barisan Pertahanan Nasional. Sepak terjangnya di dunia politik diteruskan dengan bergabung dalam partai Masyumi dan menjadi juru kampanye utama dalam Pemilu 1955 yang berhasil mengantarkan Masyumi sebagai 4 besar partai peraih suara terbanyak.
HAMKA dikenal dengan integritasnya sebagi seorang yang tegas dan pantang menarik ucapan yang diyakininya benar. Aktivitasnya di Masyumi berakhir pada 1960, saat partai ini dibubarkan. Pada 1964-1966, HAMKA terpaksa merasakan penjara karena dianggap pemerintah tidak mendukung konfrontasi dengan Malaysia.
Penjara memberikan waktu pada HAMKA untuk menyelesaikan karya terbesarnya yaitu Tafsir Al Azhar. Tafsir ini merupakan kumpulan materi ceramah kuliah Subuh HAMKA selaku Imam Besar di Masjid Agung Kebayoran sejak 1952, yang diterbitkan secara berkala sejak 1962 di Majalah Gema Islam.
Hasil karyanya dalam bidang sastra adalah novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau Ke Deli. Selepas dari penjara, HAMKA aktif dalam berbagai organisasi dan lembaga. Pada 26 Juli 1977, HAMKA dilantik menjadi Ketua Umum MUI.
HAMKA menyanggupi amanat Sukarno untuk menyolati jenazah Sukarno meski pemerintahannya telah menjebloskannya ke penjara. HAMKA wafat pada 24 Juli 1981.
Referensi: Kamus Sejarah Indonesia.