Cekricek.id - Abu Ridho, nama yang harum dalam dunia keramik kuno. Keahlian dan kepiawaiannya menaksir usia dan asal-usul keramik antik telah tersohor ke mana-mana. Profesi yang ia geluti selama berpuluh tahun ini menjadikannya pakar di bidangnya.
Lahir di Desa Banjarsari, Jawa Timur pada 16 April 1927, Abu Ridho menempuh pendidikan yang tidak mudah. Selepas SLTP di Yogyakarta, ia bekerja di Jakarta sambil meneruskan pendidikannya di SMA Taman Madya pada sore hari. Lulus pada tahun 1954, ia mendaftar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Purbakala. Keinginannya terhambat karena kurangnya dukungan dari atasannya, De Flines, sehingga ia keluar setelah satu tahun.
Kekecewaan tak menghentikan semangatnya. Abu Ridho mengambil kursus BI di Universitas Atmajaya, mendalami sejarah Asia Timur di sore hari. Keinginannya untuk memperkaya ilmu tak pernah sirna, ia pun melanjutkan studi di Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia. Namun, kuliahnya kembali terhenti akibat peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
Dikutip buku Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan V (2000), perkenalan Abu Ridho dengan dunia keramik dimulai pada tahun 1950, saat ia bekerja di Museum Nasional bersama Flines. Ia bekerja sebagai Asisten Kurator dan Sejarah, meskipun menurut pengakuannya, ia lebih seperti pesuruh bagi De Flines. Tugasnya sehari-hari melayani penelitian dan pencinta keramik kuno, seperti mengambilkan buku di perpustakaan, membuka halaman yang ditunjukkan, dan membacakannya saat De Flines meneliti keramik.
Pengalamannya di Museum Nasional, meskipun penuh keterbatasan, membuka jalan bagi Abu Ridho untuk menjelajahi dunia keramik kuno. Kegigihan dan kecintaannya pada bidang ini mengantarkannya menjadi pakar yang disegani hingga saat ini.
Bekerja di museum membawa Abu Ridho pada dunia baru. Di waktu senggangnya, ia sering menyelami lembaran-lembaran buku di perpustakaan museum, membuka gerbang pengetahuan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semakin ia menyelami, semakin ia tertarik dan ingin tahu lebih banyak.
Awalnya, Abu Ridho tak pernah bercita-cita bekerja di museum, apalagi menjadi ahli keramik kuno. Namun, seiring waktu dan keakrabannya dengan pekerjaan itu, ia mulai jatuh hati pada bidang yang ditekuni atasannya. Ia semakin rajin membaca buku-buku di perpustakaan museum, dan tak jarang memberanikan diri untuk bertanya kepada De Flines, atasannya yang berkebangsaan Belanda.
Meskipun De Flines tak pernah menganggap Abu Ridho sebagai murid, ia tak pernah pula memandangnya rendah. Bagi De Flines, Abu Ridho tetaplah seorang pesuruh.
Pada tahun 1959, De Flines diusir dari Indonesia dan kembali ke tanah kelahirannya, Belanda. Ini terjadi akibat keretakan hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Belanda terkait persengketaan mengenai Irian Barat (Irian Jaya).
Seiring dengan peristiwa tersebut, Abu Ridho secara otomatis ditunjuk sebagai kurator penggantinya. Kepercayaan ini membawanya mengambil alih pengelolaan seluruh koleksi benda sejarah dan arkeologi di Museum Nasional, yang terdiri dari sekitar 5000 koleksi keramik kuno asing. Semua koleksi ini sebelumnya merupakan milik pribadi De Flines.
Dengan tanggung jawab yang baru diberikan, Abu Ridho melanjutkan tugas yang sebelumnya dilakukan oleh De Flines dengan melakukan pencatatan seluruh koleksi keramik asing di Museum Nasional. Koleksi keramik ini berasal dari berbagai negara, termasuk Cina, Vietnam, Thailand, Jepang, Timur Tengah, dan Eropa. Semua keramik ini ditemukan di berbagai lokasi di Nusantara.
Kemahiran Abu Ridho bagaikan memberi nyawa pada benda-benda keramik. Lewat buku-bukunya, ia menuangkan kisah mereka dengan transparan. Setiap jenis keramik temuan dibahas secara rinci, mulai dari bahan dasar, ragam hias, warna, teknik pengolahan, hingga perkiraan umur dan tempat asalnya.
Abu Ridho menjelaskan bahwa keramik-keramik tersebut diangkat dari dasar laut Pulau Buaya, Kepulauan Lingga, Riau. Jumlahnya mencapai 31.000 potong, berasal dari masa Dinasti Sung (960-1279 M). Beragam jenis keramik ditemukan, seperti cupu, mangkok, piring, pasu, kendi, tempayan, dan vas bunga. Jenis keramik ini tidak ditemukan lagi di dataran Cina.
Keahliannya dalam bidang keramik mengantarkannya pada julukan "keramalog". Kemampuannya pun diakui banyak pihak, terbukti dengan banyaknya permintaan untuk mengidentifikasi keramik kuno koleksi pribadi.
Pengetahuannya tentang keramik semakin kaya seiring dengan undangan untuk memberikan ceramah dan konsultasi di berbagai negara. Kesempatan tersebut juga ia manfaatkan untuk melihat koleksi keramik di museum-museum dunia.
Seiring waktu, Abu Ridho terus melangkah maju dalam dunia keramik. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya beberapa buku karyanya, seperti Oriental Ceramic The Great Collections Volume 3 dan The Pulau Buaya Wreck.
Buku Oriental Ceramic The Great Collections Volume 3 membahas tentang koleksi keramik Museum Nasional yang dianggap sebagai salah satu yang terhebat di dunia. Buku ini diterbitkan di Jepang pada tahun 1977.
The Pulau Buaya Wreck merupakan karya terbaru Abu Ridho yang ditulisnya bersama Mc Kinnon. Buku ini berisi sekitar 70 gambar dan uraian tentang barang kuno, terutama keramik dari zaman Dinasti Sung (960-1279 M). Keramik tersebut ditemukan di reruntuhan sebuah kapal Jung Cina di dasar laut Pulau Buaya, Kepulauan Lingga, Riau. Diperkirakan keramik muatan kapal ini berusia 600-700 tahun.
Baca juga: Temuan Arkeologi Unik: Bata Kuno Mesopotamia Ungkap Misteri Fluktuasi Medan Magnet Bumi
Reruntuhan kapal ini ditemukan pada tahun 1989 oleh PT. Muara Wisesa Samudra, sebuah perusahaan yang bergerak dalam usaha pemburuan harta karun. Benda-benda arkeologis tersebut kemudian diangkat dan disimpan dalam gudang di Pulau Batam.
Baca Berita Riau Hari Ini setiap hari di Channel Cekricek.id.