Siapa Bacharuddin Jusuf Habibie ?
Bacharuddin Jusuf Habibie adalah tekhnokrat bidang kedirgantaraan, tokoh cendikiawan muslim dan Presiden ketiga Republik Indonesia kelahiran di Parepare pada 25 Juni 1936. Ia adalah putra keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.
Habibie menempuh pendidikan tinggi di Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung). Ia kemudian melanjutkan studi pada bidang teknik penerbangan di Rheinisch-Westfalische Technische Hochschule Aachen, Jerman dan mendapat gelar Doktor Ingeniur.
Habibie bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di Jerman bernama Messerschmitt-Bolkow-Blohm, setelah menyelesaikan studinya. Pada 1973, atas permintaan Presiden Soeharto, Habibie kembali ke Indonesia kemudian diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam beberapa periode kabinet, antara tahun 1978 hingga 1998.
Habibie dipilih menjadi ketua Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia pertama, setelah Organisasi ini dibentuk pada 7 Desember 1990. Habibie menjadi Wakil Presiden Indonesia pada 1998.
Setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, Habibie menjadi Presiden. Kepemimpinan Habibie sempat mendapat penolakan dari rakyat karena dianggap akan menghambat jalannya reformasi penegakan hukum terhadap Soeharto.
Penolakan ini muncul meski Habibie mampu membentuk kabinet baru dalam waktu yang terhitung cepat. Penolakan ini muncul karena dalam membentuk kabinet yang baru Habibie tidak melibatkan kelompok reformis.
Turunnya Presiden Soeharto dianggap tidak cukup oleh kelompok reformis selama pemerintahan masih diisi oleh wajah-wajah lama. Pemerintahan Habibie yang banyak mendapatkan tentangan pada kenyataannya dapat membawa berbagai perubahan.
Salah satu perubahan besar yang berhasil diciptakan oleh kepemimpinan Habibie adalah terbukanya pintu kebebasan dalam berbagai bidang terutama menyangkut kebebasan berpendapat dan berserikat.
Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang sempat ditangkap pada masa pemerintahan Presiden Soeharto karena kritik terhadap pemerintah dan tuduhan memicu keresahan.
Pemerintah Habibie juga membuat perubahan undang-undang mengenai pemilu. Perubahan ini membuka kesempatan bagi partai-partai politik yang baru terbentuk untuk mengikuti pemilu.
Tap MPR No. II /MPR/ 1978 tentang Pancasila sebagai asas tunggal dihapuskan melalui Tap MPR No XVIII/MPR/1998. Perubahan ini mendorong munculnya berbagai Organisasi yang secara terbuka menunjukkan ideologinya.
Berbagai perubahan lain dalam pemerintahan juga dilakukan terutama untuk mengembalikan stabilitas nasional. Wujud lain demokrasi yang dilakukan oleh Habibie pada masa pemerintahannya adalah pelaksanaan referendum di Provinsi Timor Timur.
Keputusan ini pada kenyataannya dianggap sebagai sebuah kesalahan besar. Melalui referendum ini Provinsi Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia. Sidang Umum MPR Oktober 1999 menjadi akhir bagi masa pemerintahan Habibie.
Pada tanggal 14 Oktober 1999 Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono Habibie ditunjuk sebagai Penasihat Kepresidenan.
Referensi: Kamus Sejarah Indonesia.