Cekricek.id - Sebuah riset terobosan dari Museum Universitas Nagoya dan Sekolah Pascasarjana Studi Lingkungan telah membuka tabir mengenai pilihan batu yang digunakan oleh manusia purba di era Paleolitik. Penelitian ini mengungkapkan bahwa manusia purba tidak sekadar memilih batu berdasarkan kemudahan pemecahannya, tetapi juga berdasarkan berbagai faktor lain.
Hasil temuan ini, yang dipublikasikan di Jurnal Arkeologi Paleolitik, menyoroti kemampuan teknis manusia purba dalam memilih batu terbaik untuk pembuatan alat mereka.
Perpindahan Homo sapiens dari Afrika ke Eurasia diikuti dengan penggunaan alat batu dari batu-batu seperti obsidian dan flint. Alat-alat ini digunakan untuk memotong, mengiris, dan membuat senjata jarak jauh. Pentingnya alat batu dalam budaya mereka membuat pemahaman tentang cara pembuatannya menjadi krusial bagi para arkeolog.
Fokus Studi di Yordania Selatan
Mengingat ekspansi geografis Homo sapiens di Eurasia dimulai di Timur Tengah, para arkeolog Eiki Suga dan Seiji Kadowaki dari Universitas Nagoya mengkonsentrasikan studi mereka pada situs prasejarah di area Jebel Qalkha, Yordania Selatan.
Mereka menganalisis nodul flint di lapisan yang dieksploitasi selama Paleolitik Tengah dan Atas (70.000 hingga 30.000 tahun yang lalu).
Para peneliti percaya bahwa manusia Paleolitik memahami batu mana yang cocok untuk pembuatan alat, sehingga mereka secara sengaja mencari batu-batu tersebut. Hipotesis ini mengarah pada pemikiran bahwa manusia Paleolitik sengaja mencari flint yang transparan dan halus, yang mudah dipatahkan dari batu dan dibentuk menjadi tepian yang tajam.
Tim menggunakan Schmidt Hammer dan Alat Kekerasan Rockwell untuk menguji sifat mekanis batu. Schmidt Hammer mengukur perilaku elastis material setelah terkena palu, yang memberi tahu peneliti tentang kekerasan pantulannya. Sementara itu, alat kekerasan Rockwell menekan indenter berlian pada permukaan batu untuk menguji kekuatannya.
Awalnya, seperti yang diperkirakan Suga dan Kadowaki, flint berbutir halus membutuhkan kekuatan yang lebih kecil untuk dipecahkan dibandingkan flint berbutir sedang.
Hal ini membuat flint berbutir halus lebih menarik untuk pembuatan alat batu ukuran kecil. Memang, banyak alat batu dari Paleolitik Atas Awal (40.000 hingga 30.000 tahun yang lalu) mengandung flint berbutir halus.
Meninjau Ulang Asumsi dan Memahami Pilihan
Namun, penelitian sebelumnya oleh tim yang sama menemukan bahwa selama Paleolitik Tengah Akhir dan Paleolitik Atas Awal (70.000 hingga 40.000 tahun yang lalu), flint berbutir sedang lebih sering digunakan dalam alat batu daripada flint berbutir halus. Jika flint berbutir halus begitu mudah digunakan, mengapa nenek moyang kita tidak membuat semua alat mereka darinya?
Setelah penyelidikan lebih lanjut, para peneliti menemukan bahwa banyak flint berbutir halus di area tersebut mengalami fraktur internal yang berlimpah akibat aktivitas geologis, yang membuatnya tidak cocok untuk alat batu besar, seperti produk Levallois dan pisau yang kokoh.
Oleh karena itu, tampaknya manusia Paleolitik memilih flint berbutir sedang untuk alat besar, meskipun bahan tersebut sulit diubah menjadi alat, karena lebih mungkin bertahan lama.
Ini memberikan wawasan menarik tentang perilaku nenek moyang kita, karena mereka memilih flint berdasarkan banyak faktor selain kemudahan pemecahannya dan dapat membedakan batu yang paling cocok untuk digunakan membuat alat batu.
Suga sangat antusias tentang temuan ini, yang menunjukkan kompleksitas perilaku nenek moyang kita.
“Studi ini menggambarkan bahwa manusia Paleolitik mengubah pilihan bahan baku mereka untuk disesuaikan dengan morfologi dan teknik produksi alat batu mereka,” katanya. “Kami percaya bahwa manusia prasejarah ini memiliki pemahaman sensoris tentang karakteristik batu dan secara sengaja memilih bahan batu yang akan digunakan sesuai dengan bentuk dan teknik produksi alat batu yang diinginkan. Pemilihan sengaja dari bahan batu litik ini mungkin merupakan komponen penting dari produksi alat batu. Ini mungkin menunjukkan beberapa aspek perilaku teknologi yang fleksibel dan disesuaikan dengan situasi.”
Baca juga: 2 Fosil Manusia Purba dari 2 Juta Tahun Lalu Dibawa Terbang ke Luar Angkasa
“Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang mengapa manusia modern memperluas distribusinya 50.000 hingga 40.000 tahun yang lalu. Baru-baru ini, analisis DNA kuno menunjukkan bahwa manusia modern (Homo sapiens) berinteraksi dan berkembang biak dengan Neandertal dan Denisovan. Namun, DNA kuno tidak dapat memberi tahu kita tentang peristiwa sejarah aktual dan bagaimana mereka terjadi,” kata Suga. “Jika kita ingin tahu apa yang terjadi yang memungkinkan Homo sapiens berkembang, kita perlu mempelajari sisa budaya, seperti alat batu, yang digali dari situs arkeologi. Penggunaan sumber daya jenis ini merupakan catatan penting untuk menguraikan evolusi perilaku teknologi manusia, adaptasi lingkungan, dan proses pertumbuhan populasi pada waktu itu.”