Jejak Imperium Terlupakan: Kisah Kerajaan Melayu yang Menguasai Nusantara Selama 9 Abad

Jejak Imperium Terlupakan: Kisah Kerajaan Melayu yang Menguasai Nusantara Selama 9 Abad

Ilustrasi. [Foto: Dibuat dan dihasilkan dengan AI]

Cekricek.id - Jauh sebelum Majapahit dan Sriwijaya mencatat namanya dalam sejarah, sebuah kerajaan kuno telah berdiri di tepian Sungai Batanghari, Jambi. Kerajaan Melayu, yang eksis dari abad ke-7 hingga ke-14 Masehi, ternyata merupakan salah satu kekuatan politik tertua dan terbesar di Nusantara. Namun kisahnya nyaris tenggelam dalam bayang-bayang tetangganya yang lebih terkenal.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dikdaya oleh Arif Rahim dari Universitas Batanghari mengungkap perjalanan panjang kerajaan yang sempat menguasai sebagian besar Pulau Sumatera ini. Temuan ini tidak hanya memperkaya khazanah sejarah lokal Jambi, tetapi juga memberikan perspektif baru tentang dinamika kekuasaan di Asia Tenggara pada milenium pertama Masehi.

"Kerajaan Melayu dapat dikatakan sebagai terra incognita dalam kajian sejarah Nusantara," ungkap Rahim. Meski demikian, penelitian multidimensi yang menggunakan metode sejarah ilmiah ini berhasil menyingkap tabir misteri yang selama ini menyelimuti kerajaan kuno tersebut.

Akar Sejarah dari Tiga Kerajaan Pendahulu

Keunikan Kerajaan Melayu terletak pada asal-usulnya yang berakar pada tiga kerajaan kuno pra-Melayu: Koying, Tupo, dan Kantoli. Ketiga kerajaan ini tumbuh dan berkembang antara abad ke-4 hingga ke-7 Masehi, jauh sebelum nama "Melayu" dikenal dalam catatan sejarah.

Kerajaan Koying, yang terletak di kawasan Bukit Barisan dengan banyak gunung berapi, tercatat aktif melakukan perdagangan dengan daerah-daerah di bagian barat dan selatan Sumatera, serta dengan Tonkin dan Funan. Catatan Tiongkok menggambarkan Koying sebagai negeri yang kaya akan mutiara, emas, perak, batu giok, kristal, dan pinang.

Sementara itu, Kerajaan Tupo yang terletak di daerah yang kini dikenal sebagai Tebo, menjadi pusat pemerintahan ketika Koying memindahkan ibukotanya pada abad ke-3 Masehi. Adapun Kantoli, yang kemungkinan terletak di Kuala Tungkal, aktif mengirim utusan ke Tiongkok pada masa Kaisar Wu dari Dinasti Liang antara tahun 502-520 Masehi.

"Evolusi dari ketiga kerajaan ini menunjukkan dinamika politik yang kompleks, di mana pusat kekuasaan berpindah mengikuti kondisi geografis dan strategis perdagangan," jelas Rahim.

Debut Diplomatik yang Menggemparkan Asia

Kerajaan Melayu secara resmi muncul dalam panggung sejarah internasional pada tahun 644-645 Masehi ketika mengirimkan utusan pertamanya ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang. Pencatatan ini dalam sumber-sumber Tiongkok menjadikan Melayu sebagai salah satu kerajaan Nusantara pertama yang menjalin hubungan diplomatik formal dengan kekuatan besar Asia.

Pentingnya Kerajaan Melayu tidak hanya terletak pada aspek politik, tetapi juga pendidikan dan kebudayaan. Peziarah terkenal I-Ching mencatat bahwa pada perjalanannya dari Kanton ke India pada tahun 671-672 Masehi, ia singgah di Melayu untuk memperdalam bahasa Sanskerta. Ini menunjukkan bahwa Melayu telah menjadi pusat pembelajaran penting di Asia Tenggara.

"Posisi Melayu sebagai tempat persinggahan wajib bagi I-Ching, baik saat pergi maupun pulang, menunjukkan betapa strategisnya pelabuhan ini dalam jaringan perdagangan dan pendidikan regional," ungkap peneliti.

Era Sriwijaya dan Kebangkitan Kembali

Tahun 685 Masehi menandai babak baru dalam sejarah Kerajaan Melayu. Catatan I-Ching menyebutkan bahwa Melayu telah menjadi bagian dari Sriwijaya, mengakhiri era kemerdekaan pertamanya. Namun, status ini tidak menghapuskan peran penting Melayu sebagai pelabuhan strategis dalam jaringan maritim regional.

Selama berada di bawah kendali Sriwijaya, pelabuhan Melayu tetap berfungsi sebagai pintu gerbang penting menuju pedalaman Sumatera melalui Sungai Batanghari. Jalur ini menghubungkan pantai timur dengan kawasan hulu Minangkabau yang kaya akan berbagai komoditas perdagangan.

Kebangkitan kedua Kerajaan Melayu terjadi pada abad ke-12, setelah Sriwijaya mengalami kemunduran akibat serangan Kerajaan Cola dari India. Periode ini menandai transformasi besar dalam geografi politik Kerajaan Melayu, karena pusat pemerintahan telah berpindah dari Jambi ke Dharmasraya di wilayah Sumatera Barat.

Puncak Kejayaan di Bawah Adityawarman

Abad ke-14 menjadi era kejayaan tertinggi Kerajaan Melayu di bawah kepemimpinan Adityawarman. Pada periode ini, kerajaan tumbuh menjadi kekuatan terbesar di Sumatera, dengan wilayah kekuasaan yang mencakup sebagian besar pulau tersebut.

Namun, transformasi ini juga menandai perubahan fundamental karakter kerajaan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Pagaruyung di jantung alam Minangkabau, mengubah orientasi kerajaan dari maritim menjadi lebih terestrial. Perubahan ini mencerminkan adaptasi terhadap dinamika politik regional dan potensi ekonomi daerah pedalaman.

"Perpindahan pusat kekuasaan dari pantai ke pedalaman menunjukkan fleksibilitas politik Kerajaan Melayu dalam menghadapi perubahan kondisi strategis regional," analisis Rahim.

Warisan yang Bertahan Hingga Kini

Penelitian ini mengungkap bahwa Kerajaan Melayu bukan sekadar entitas politik masa lalu, tetapi fondasi bagi perkembangan peradaban di Sumatera. Sistem pemerintahan, jaringan perdagangan, dan tradisi budayanya memberikan pengaruh yang bertahan hingga era kesultanan-kesultanan di Sumatera.

Temuan ini juga menunjukkan pentingnya memahami sejarah lokal sebagai bagian integral dari sejarah Nusantara. Kerajaan Melayu membuktikan bahwa jauh sebelum dominasi kerajaan-kerajaan besar di Jawa, Sumatera telah menjadi pusat peradaban yang maju dengan jaringan internasional yang luas.

Bagi Jambi dan Sumatera Barat, warisan Kerajaan Melayu menawarkan potensi besar untuk pengembangan pariwisata sejarah dan penguatan identitas budaya. Situs-situs bersejarah seperti kompleks Muaro Jambi dan kawasan Dharmasraya menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu yang perlu dilestarikan.

Studi tentang Kerajaan Melayu ini membuka jendela baru untuk memahami kompleksitas sejarah Asia Tenggara. Kerajaan yang bertahan selama sembilan abad ini membuktikan bahwa Nusantara telah lama menjadi bagian integral dari jaringan peradaban global, bukan sekadar pinggiran dari pusat-pusat kekuasaan di Asia daratan.

Baca juga: Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung

Dalam konteks Indonesia modern, kisah Kerajaan Melayu mengingatkan kita bahwa kekayaan sejarah Nusantara jauh lebih kompleks dan beragam dari yang selama ini dipahami. Setiap daerah memiliki kontribusi unik dalam membentuk peradaban yang kita kenal sekarang, dan Kerajaan Melayu adalah salah satu permata tersembunyi yang layak untuk terus digali dan dipelajari.

Baca Juga

Sumpah Terlarang dan Akhir Dinasti Kerajaan Koto Besar Takluk oleh Belanda
Sumpah Terlarang dan Akhir Dinasti Kerajaan Koto Besar Takluk oleh Belanda
Dari Tragedi Karbala ke Pantai Pariaman: Perjalanan Spiritual Tradisi Tabuik
Dari Tragedi Karbala ke Pantai Pariaman: Perjalanan Spiritual Tradisi Tabuik
Siak Lengih dan Masjid Keramat: Warisan Spiritual yang Mengubah Wajah Kerinci
Siak Lengih dan Masjid Keramat: Warisan Spiritual yang Mengubah Wajah Kerinci
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital