Sejarah singkat tentang dua figur komunis asal Minangkabau yang dilaporkan oleh Majalah Pandji Poestaka pada era 1930-an. Kisah Djamaloedin dan Saroen mengungkap bagaimana pandangan masyarakat terhadap komunisme berubah seiring waktu.
Cekricek.id - Menilik masa lalu, Majalah Pandji Poestaka pernah menyoroti cerita dua individu komunis asal Minangkabau. Pada edisi ke-28, terbitan 8 April 1930, majalah tersebut memuat laporan mengenai sejumlah komunis yang dikirim pulang dari Boven Digoel ke daerah asal setelah dinilai tak lagi mengancam. Salah satunya adalah Djamaloedin dengan gelar Malin Boengsoe. Sayangnya, detil mengenai asal daerahnya di Sumatra Barat tidak dijelaskan dengan tuntas.
Berdasarkan kutipan dari catatan Filolog Suryadi di blognya, keputusan tersebut disebabkan pertimbangan politik yang menyatakan bahwa individu-individu tersebut sudah tidak lagi menjadi ancaman.
Beberapa nama yang disebutkan dalam daftar tersebut termasuk Djamaloedin yang dikembalikan ke Sumatera Barat, dan lainnya seperti Soewarti ke Jawa Barat, serta Moehamad Moesa ke Koedoes.
“Pendodoek Digoel jang boléh kembali kenegerinja. Menoeroet beslit Goebernemént tanggal 2 April jl. ja’ni berhoboeng dengan hal bahwa meréka menoeroet pertimbangan politik ta’ mengchawatirkan lagi, ditjaboetlah beslit pemboeangan atas orang-orang jang terseboet di bawah ini:
Soewarti boléh ke Djawa Barat, Moehamad Moesa ke Koedoes, M. Soediman ke Djawa Barat, M. Darso alias Dirdjodidjojo ke Semarang, Salimin alias Marto Soedarmo ke Semarang, Djojosantoso alias Djojokasoer ke Blitar, Djamaloedin gelar Malin Boengsoe ke Soem[atra] Barat, Moeroedin bin Abdoel Rahim ke Ternaté dan Joenoes bin Maana ke Ternaté.” demikian tertulis,majalah Pandji Poestaka No. 28, Tahoen VIII, 8 April 1930, hlm. 452.
Masih pada tahun yang sama, edisi ke-37, yang diterbitkan 9 Mei 1930, Majalah Pandji Poestaka pada juga pernah mengabarkan tentang tokoh komunis Saroen. Ia disebutkan sebagai seorang propagandis komunis yang berhasil ditangkap setelah empat tahun pemberontakan Silungkang tahun 1926.
Saroen, alumni sekolah Normaal di Fort de Kock, kemudian menjadi guru sekolah rakyat di Sawahlunto. Ia juga dikenal sebagai propagandis dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, ketika terjadi pemberontakan di Silungkang, keputusan resmi dari departemen pendidikan mengumumkan bahwa Saroen diangkat sebagai guru di sana. Akan tetapi, Saroen memilih untuk melarikan diri bersama rekannya yang juga komunis.
“Penangkapan [se]orang kominis. Sinar Sumatra mewartakan penangkapan seorang kominis, jang terda’wa toeroet tjampoer dalam perkara pemberontakan dalam boelan November 1926 antara lain-lain seperti berikoet: Saroen, bekas moerid sekolah Normaal di Fort de Kock, ja’ni sesoedah tammat peladjarannja, laloe mendjadi goeroe sekolah ra’jat di Sawah Loento dan mendjadi propagandist P.K.I. jang amat gembira. Waktoe di Siloengkang timboel pemberontakan, datanglah beslit dari departement Onderwijs bahwa ia diangkat mendjadi goeroe sekolah disana, tetapi ia telah lari bersama-sama dengan orang-orang kominis lainnja.
Kira-kira doea boelan jbl. Saroen dapat ditangkap oléh penghoeloe dan kepala negeri dibilangan Solok dihoetan Soemandian dengan ta’ melawan. […]." begitu tertulis dalam Pandji Poestaka, No. 37, Tahoen VIII, 9 Mei 1930, hlm. 600.
Seiring waktu, label 'komunis' seringkali disematkan pada pejuang pribumi yang beropini kritis terhadap penjajahan Belanda. Ini menandakan perubahan persepsi masyarakat terhadap komunisme, terutama jika dibandingkan dengan situasi politik pada 1960-an yang diwarnai oleh Peristiwa G.30 September.