Cekricek.id - Busana telah lama merepresentasikan identitas suatu bangsa. Di Indonesia, keragaman budaya melahirkan beragam mode berpakaian yang kian berkembang seiring pergantian zaman. Salah satu elemen busana yang kini telah menjadi ikon nasional adalah kopiah atau peci. Menapaki jejak sejarahnya, ternyata kopiah beludru yang akrab dengan penampilan Presiden Soekarno memiliki akar yang menggembleng pada tradisi berpakaian Melayu sejak abad ke-19.
Foto di atas adalah potret unik Sultan Riau-Lingga terakhir, Abdoel Rachman Muazzam Sjah II, yang berkuasa pada 1885-1911. Diabadikan dalam surat kabar Bandera Wolanda No. 76 tahun 1911, sang Sultan tampil mengenakan pakaian resmi pesta ala Eropa dengan hem putih, jas, dan dasi kupu-kupu. Namun, yang menarik perhatian adalah kopiah beludru yang menjadi mahkota di kepalanya.
Penampilan Sultan Abdoel Rachman ini mencerminkan akulturasi budaya pada masa itu. Gaya berpakaian Eropa yang mulai menjadi tren, berpadu dengan tradisi berpakaian Melayu yang mengenakan kopiah beludru. Penampilannya menjadi bukti bahwa kopiah telah menjadi state dress, busana resmi kerajaan, di Riau-Lingga khususnya dan kemungkinan juga di kalangan masyarakat Melayu pada umumnya.
Kopiah, yang dalam bahasa Belanda disebut 'petje', merupakan turunan dari kata 'keffiyeh' dalam bahasa Arab. Pada masa itu, iklan-iklan toko yang menjual kopiah sering ditemukan di surat kabar dan berkala, baik di Sumatera maupun Jawa. Penjualnya banyak yang berasal dari kalangan perantau Minangkabau yang telah menyebar ke berbagai kota.
Meski demikian, intelektual Minangkabau sendiri pada awal abad ke-20 lebih akrab dengan saluak (peci haji) yang dikombinasikan dengan jas bergaya Eropa. Sementara kaum ulamanya cenderung memakai sorban dan jubah. Fakta ini menguatkan dugaan bahwa kopiah beludru merupakan fashion yang berakar pada masyarakat Melayu di wilayah Negeri-Negeri Selat (Straits Settlements).
Menurut Filolog Surya Suryadi, dilansir halaman pribadinya, kopiah beludru merupakan modifikasi dari tarbus Turki yang telah lama memberikan pengaruh di Indonesia. Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk membuktikan dugaan ini.
Seiring waktu, kopiah beludru yang asosiatif dengan Islam ini kemudian dipopulerkan oleh Presiden Soekarno. Hingga kini, peci menjadi ikon busana nasional yang melekat dengan identitas Indonesia. Dahulu, seorang tokoh PKI di Solo menyindir penggunaan peci Soekarno dengan menyebutnya sebagai "pitjinja dibawah roknja [Ratu] Juliana". Namun, sindiran itu justru semakin mengukuhkan peci sebagai representasi kultural Indonesia yang khas.
Baca juga: Museum Sang Nila Utama Riau, Mengenang Sejarah Kerajaan Tanah Melayu
Menelusuri sejarah kopiah beludru ini menunjukkan bagaimana busana merupakan cerminan persilangan budaya yang kian memperkaya khazanah kebangsaan Indonesia. Kopiah Melayu yang mentransformasi menjadi peci nasional adalah salah satu kontribusi historis identitas Melayu bagi keindonesiaan. Semoga penggunaan peci sebagai busana resmi tetap terpelihara dan semakin terpopulerkan sebagai lambang kebanggaan nasional.