Cekricek.id – Siapa yang menyangka bahwa sejak zaman kerajaan Majapahit dulu, koruptor dan pengemplang pajak sudah hadir di tengah masyarakat dan pemerintahan. Orang-orang pada masa itu juga memiliki cara tersendiri untuk memberikan hukuman pada dua tindak kejahatan tersebut.
Seperti yang dilansir dari kanal YouTube ASISI Channel, Rabu (29/3/2023), hukuman yang diberikan pada tindak kejahatan dan penyelewengan uang tersebut rupanya tak tanggung-tanggung, bahkan terkesan kejam.
Misalnya saja pada catatan yang ditemukan pada Prasasti Sumundul dan Prasasti Pananggaran di dekat Candi Kedulan Jogja. Di sana tertera, bahwa orang yang mangkir membayar pajak akan dihukum hingga ke anak dan cucunya. Kendati begitu, data tentang jenis hukuman ini tidak ditemukan datanya.
Ada pula raja yang menyikapi masalah perpajakan ini dengan serius. Misalnya, Maharaja Dyah Balitung dari Medang yang menerbitkan prasati terbanyak. Hampir seperempat dari jumlah prasasti itu berkaitan dengan pajak.
Sayangnya, prasasti Dyah Balitung yang ditemukan sejauh ini tidak merekam penindakan para koruptor dan pejabat nakal.
Solusi jitu dan powerful tentang penindakan terhadap korupsi dan kejahatan pajak ini baru terlihat pada 4 abad kemudian. Tepatnya pada masa Kerajaan Majapahit, sebagai kemaharajaan terbesar sekaligus puncak peradaban masa klasik.
Ketegasan Majapahit pada Koruptor
Kutaramanawa, yaitu kitab perundang-undangan Majapahit dengan tegas menyatakan bahwa segala bentuk pencurian dijatuhi hukuman mati. Seperti yang terdapat pada pasal 6 yang berisi:
“Hamba raja atau pegawai negeri, menteri dan semua aparaturnya, jika melakukan corah atau pencurian harus dianggap pencuri dan dihukum mati.”
Hamba raja yang mencuri ini jelas merupakan pejabat yang mencuri uang negara alias koruptor. Bahkan keluarganya juga akan menanggung hukuman, harta mereka disita negara seta anak istrinya dijadikan budak raja.
Kalau pun koruptor dibunuh orang, pembunuhannya tidak akan mendapat hukuman. Ternyata, bagi orang Majapahit, koruptor itu adalah sosok yang tidak patut untuk dibiarkan hidup.
Baca juga: Kerajaan-kerajaan Masa Hindu-Buddha di Indonesia
Selain itu, kita juga jadi mengetahui bahwa hukuman mati bagi koruptor itu memiliki akar sejarah yang kuat. Ketika membiarkan tikus berdasi itu melenggang tanpa adanya konsekuensi yang sepadan, sama artinya dengan pengkhianatan terhadap jati diri bangsa.