Hari Malaria Sedunia atau World Malaria Day diperingati setiap tanggal 25 April oleh seluruh warga dunia. Tahukah kamu kenapa dan sejak kapan itu dilakukan?
Hari Malaria Sedunia ditetapkan pada tanggal 25 April dalam pertemuan sidang kesehatan dunia WHA (World Health Assembly) yang dihadiri oleh 192 negara anggota WHO (World Health Organization) pada tanggal 23 Mei 2007 di Jenewa Swis.
Hal ini adalah upaya dalam mengampanyekan pemahaman pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria secara global. Penetapan keputusan ini juga berkaitan dengan adanya Deklarasi Abuja yang sebelumnya pernah dilakukan pada tanggal 25 April tahun 2001 oleh beberapa negara endemik malaria di kawasan Afrika.
Deklarasi Abuja kemudian diperingati sebagai Hari Malaria Afrika dan memuat beberapa kesepakatan bersama di antara negara-negara endemik malaria di Afrika.
Dari hasil kesepakatan yang ada menyatakan agar beberapa negara di Afrika dapat mengalokasikan 15% dari APBN mereka untuk kesehatan warga negaranya masing-masing. Serta menyisihkan juga 0,7% APBN untuk dapat disumbangkan kepada negara lain di kawasan Afrika yang tengah membutuhkan dalam penuntasan penyakit endemik malaria.
Sehingga dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung lahirnya Hari Malaria Sedunia (World Malaria Day) merupakan kelanjutan dari adanya gerakan Hari Malaria Afrika pada tanggal 25 April tahun 2001 di kawasan Afrika.
Sedangkan bagi Indonesia sendiri baru pada tahun 2008 aktif mengikuti dan mengadakan agenda Hari Malaria Sedunia tersebut. Sebagaimana dikutip dari laman resmi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang mengangkat tema nasional “Ciptakan Inovasi Capai Eliminasi, Wujudkan Indonesia Bebas Malaria” dalam peringatan Hari Malaria Sedunia tahun 2022. Harapannya tema dapat memberi pesan dan kesan kepada seluruh komponen bangsa untuk tetap memberikan komitmen kuat guna mewujudkan Indonesia Bebas Malaria pada tahun 2030.
Walaupun akhirnya penyakit malaria dapat teratasi dengan pencegahan yang baik di Indonesia. Ternyata dahulu penyakit malaria ini menjadi penyakit yang cukup menakutkan di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di daerah Boven Digul yang menjadi kamp konsentrasi pertama di Indonesia. Seperti apa dan bagaimana penyakit malaria di Kamp Boven Digul tersebut? Mari kita simak beberapa catatan berikut!
Beberapa Catatan Malaria di Kamp Boven Digul
Kamp Boven Digul merupakan kamp konsentrasi pertama yang dibangun oleh pemerintahan Gubernur Jenderal de Graeff pada tahun 1927 di Indonesia. Kata “Boven” yang mengiringi Digul merupakan kata yang diambil dari bahasa Belanda yang berarti “hulu”. Artinya kamp ini terletak di hulu sungai Digul dan lebih dikenal sebagai kamp interniran.
Kamp Boven Digul ini sering digunakan dahulu oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai tempat pembuangan para tahanan politik. Sebagai tempat pembuangan, kamp Boven Digul memiliki segudang permasalahan dan penderitaan yang selalu mengintai para penghuninya. Di antaranya adalah penyakit yang menjadi langganan karena kondisi geografis yang masih hutan belantara dan di tepian sungai seperti malaria, kencing hitam, TBC dan lain sebagainya.
Chalid Salim dalam bukunya yang berjudul Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi Di Niuew Guinea (1977) menceritakan kehidupan orang-orang buangan yang berada di Digul sangat dibuat kesulitan oleh nyamuk pembawa malaria yang sangat ganas.
Penyakit ini terkenal dengan nama Zwart-Waterkoorts atau dikalangan orang buangan lebih dikenal “kencing hitam”. Nyamuk malaria ini menyerang siapa saja tak kenal ampun, baik pria dan perempuan, muda dan tua, orang sipil dan militer sehinga banyak yang jatuh sakit dan meninggal.
Mohammad Hatta “Three Years of the Digoel Scandals” dalam Mavin Rose menjelaskan bahwasanya pada tahun 1928 seorang mantan menteri daerah jajahan, Dr. Koningsberger menyatakan dalam sebuah acara makan malam Uni Jajahan Perancis bahwa pedalaman Irian Barat, tempat pengasingan para tahanan bersama keluarga mereka merupakan tempat yang baik untuk membangun wilayah pertanian.
Padahal dibukanya hutan-hutan dan berdirinya kamp Tanah Merah membuat lahan-lahan kosong terbuka semakin luas. Namun pembukaan hutan tersebut sama halnya dengan mengobrak sarang malaria yang berada di belantara hutan, semak-semak dan sekitar rawa-rawa. Lalu nyamuk malaria menyerang mereka pada malam hari saat suhu wilayah kamp cocok bagi nyamuk untuk mencari makan.
Kemudian dalam Rapport Hillen vam Jaar 1930 menceritakan diantara ahli malaria yang didatangkan pemerintahan Hindia Belanda adalah dokter H. De Rook. Dia juga seorang ahli kebudayaan Papua.
Langkah pertama untuk mencegah serangan malaria dilakukan dengan membagikan Kina kepada setiap penghuni Digul. Dalam waktu yang sama, pejabat administratif juga memberikan semprotan ke beberapa wilayah yang dipakai untuk perkembangbiakan nyamuk malaria.
Begitulah sedikit cerita tentang malaria yang pernah menjadi penyakit yang sangat menakutkan dalam sebuah kamp interniran pemerintahan Belanda.
Semoga penyakit malaria cepat hilang dari muka bumi ini dan SELAMAT HARI MALARIA SEDUNIA!