Cekricek.id - Sejumlah sekutu utama Iran memilih tidak terlibat dalam konflik Israel-Iran yang kembali memanas, meski Amerika Serikat telah ikut campur dengan menyerang tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6). Hizbullah Lebanon dan jaringan milisi Irak yang selama ini menjadi garis depan dukungan Teheran justru bersikap diam dalam putaran terbaru konflik regional ini.
Organisasi militan Lebanon yang selama puluhan tahun dianggap sebagai benteng pertahanan Iran terhadap Israel kini memilih tidak merespons secara militer. Keputusan serupa juga diambil kelompok-kelompok bersenjata di Irak yang tergabung dalam jaringan proksi Iran di kawasan Timur Tengah.
Kerugian Besar Pengaruhi Keputusan
Kondisi politik domestik yang rumit serta kerugian signifikan akibat konflik berkepanjangan selama hampir dua tahun terakhir tampaknya mempengaruhi keengganan sekutu-sekutu Iran untuk terjun dalam konflik terbaru. Tamer Badawi, peneliti asosiasi di Center for Applied Research in Partnership with the Orient yang berbasis di Jerman, menilai masih terdapat peluang yang belum dapat direalisasikan.
"Meskipun ada berbagai faktor penghambat, kesempatan untuk bertindak masih terbuka," ungkap Badawi dalam keterangannya. Pernyataan ini mengisyaratkan kemungkinan perubahan sikap sekutu Iran jika situasi semakin memburuk.
Hizbullah Pilih Sikap Hati-hati
Hizbullah yang dibentuk dengan dukungan Iran pada awal dekade 1980-an sebagai kekuatan gerilya anti-Israel kini menghadapi dilema strategis. Kelompok yang pernah membanggakan memiliki 150.000 roket dan rudal serta 100.000 pejuang ini mengalami degradasi kemampuan setelah konflik intensif tahun lalu.
Pemimpin Hizbullah Naim Kassem sebelumnya menyatakan kelompoknya akan "bertindak sesuai yang dianggap tepat menghadapi agresi brutal Israel-Amerika." Namun pernyataan resmi pasca-serangan AS hanya menyerukan dukungan negara Arab dan Islam terhadap Iran tanpa mengindikasikan keterlibatan langsung Hizbullah.
Organisasi yang menjadi bagian dari apa yang disebut "Poros Perlawanan" Iran ini menghadapi tekanan dari pemerintah Lebanon. Pejabat-pejabat Beirut mendesak Hizbullah menghindari keterlibatan dalam konflik yang berpotensi menghancurkan Lebanon yang masih pulih dari krisis berkepanjangan.
Milisi Irak Juga Bungkam
Kelompok Kataib Hizbullah Irak yang sebelumnya mengancam akan langsung menyerang kepentingan AS jika Washington terlibat dalam konflik justru tetap bungkam pascaserangan Minggu lalu. Jaringan milisi kuat yang didukung Iran di Irak sebagian besar mempertahankan sikap diam meski retorika ancaman sebelumnya cukup keras.
Situasi serupa terjadi pada kelompok Houthi Yaman yang bulan lalu mencapai kesepakatan dengan Washington untuk menghentikan serangan terhadap kapal-kapal AS di Laut Merah. Meski mengancam akan melanjutkan serangan jika AS masuk perang Iran-Israel, kelompok ini belum melancarkan aksi balasan nyata.
Faktor-faktor Strategis di Balik Keputusan
Andreas Krieg, analis militer dan profesor madya di King's College London, melihat degradasi strategis Hizbullah sebagai faktor utama. "Hizbullah mengalami penurunan kemampuan pada tingkat strategis setelah terputus dari jalur pasokan di Suriah," jelasnya, merujuk pada jatuhnya Presiden Bashar Assad dalam pemberontakan kilat Desember lalu.
Qassem Qassir, analis Lebanon yang memiliki kedekatan dengan Hizbullah, berpendapat peran kelompok militan dalam konflik Israel-Iran tidak boleh diabaikan sepenuhnya. "Pertempuran masih dalam tahap awal. Iran bahkan belum membalas serangan AS terhadap pangkalan Amerika, melainkan menyerang Israel," katanya.
Renad Mansour dari lembaga pemikir Chatham House London menilai milisi Irak berusaha menghindari pelibatan negara mereka dalam konflik besar. Berbeda dengan Hizbullah yang beroperasi sebagai aktor non-negara, milisi utama Irak merupakan bagian resmi dari koalisi pasukan pertahanan negara.
"Situasi saat ini menguntungkan mereka secara politik dan ekonomi. Mereka juga menyaksikan dampak yang menimpa Iran dan Hizbullah, serta khawatir Israel akan menyerang mereka," papar Mansour menjelaskan kalkulasi strategis milisi Irak.
Potensi Eskalasi Masa Depan
Badawi memperingatkan kemungkinan perubahan sikap kelompok-kelompok bersenjata tersebut jika Iran mengalami kerugian yang tidak dapat diatasi. "Namun jika Iran menderita kerusakan tak tertahankan atau Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei terbunuh, hal tersebut dapat menjadi pemicu keterlibatan mereka," tegasnya.
Analisis ini menunjukkan bahwa meski sekutu-sekutu Iran saat ini memilih sikap menunggu, eskalasi konflik yang signifikan masih dapat mengubah kalkulasi strategis mereka. Keputusan untuk tidak terlibat dalam konflik Israel-Iran terkini mencerminkan pertimbangan realistis menghadapi kerugian besar yang telah dialami serta ketidakpastian regional yang terus berlanjut.