Penelitian terbaru mengungkap sebab-sebab runtuhnya Dinasti Qing di China dan bagaimana pelajarannya relevan untuk dunia saat ini. Kata kunci: Dinasti Qing, kestabilan sosial-politik, ekonomi global.
Cekricek.id - Dinasti Qing, yang telah berkuasa selama lebih dari 250 tahun, tumbang pada tahun 1912. Sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Complexity Science Hub (CSH) telah mengidentifikasi alasan utama di balik kejatuhan tersebut.
Penelitian ini diterbitkan di jurnal PLOS ONE, 18 Agustus 2023, dengan judul Analisis demografi-struktural dari runtuhnya Dinasti Qing (1644-1912) di China, yang ditulis oleh Georg Orlandi dan timnya.
Mereka menemukan bahwa ada korelasi dengan ketidakstabilan modern dan memberikan pelajaran penting untuk masa depan.
Meskipun China saat ini dikenal sebagai ekonomi terbesar di dunia berdasarkan daya beli, posisi ini bukanlah hal baru.
Pada tahun 1820, ekonomi China sudah menduduki posisi teratas, menyumbang 32,9% dari PDB global. Namun, ada masa penurunan sebelum bangkit kembali. Meski begitu, Dinasti Qing runtuh pada 1912 meskipun saat itu lebih kaya dibandingkan China modern.
Georg Orlandi, penulis utama studi ini, menekankan bahwa setiap ekonomi harus selalu waspada karena situasi dapat berubah dengan cepat. Penting untuk memahami asal-usul ketidakstabilan tersebut. Menganggapnya sebagai hal yang telah berlalu dan tidak akan terulang adalah kesalahan besar.
Peneliti telah berusaha menemukan penyebab jatuhnya Dinasti Qing selama dua abad.
Ada banyak faktor yang telah diajukan sebelumnya, seperti bencana alam, intervensi asing, kelaparan, atau pemberontakan. Namun, menurut Peter Turchin, peneliti di CSH, "tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut yang memberikan penjelasan menyeluruh."
Dalam penelitian ini, tim menggabungkan berbagai faktor dan menemukan tiga elemen utama yang meningkatkan tekanan sosial-politik.
Pertama, terjadi ledakan populasi empat kali lipat antara 1700 dan 1840. Hal ini mengakibatkan berkurangnya lahan per kapita dan menyebabkan kemiskinan di kalangan masyarakat pedesaan.
Kedua, hal ini menyebabkan persaingan yang meningkat untuk posisi elit. Meskipun jumlah pesaing meningkat, jumlah gelar akademik tertinggi yang diberikan menurun, mencapai titik terendah pada 1796. Ketidakseimbangan ini menciptakan kelompok besar elit yang tidak puas.
Ketiga, beban keuangan negara meningkat karena biaya yang meningkat untuk menekan kerusuhan, penurunan produktivitas per kapita, dan defisit perdagangan yang meningkat akibat berkurangnya cadangan perak dan impor opium.
Menurut temuan studi, ketegangan sosial telah mencapai puncaknya antara 1840 dan 1890. Turchin menjelaskan bahwa menganggap penguasa Dinasti Qing tidak menyadari tekanan ini adalah kesalahan. Namun, banyak solusi yang mereka coba ternyata tidak efektif. Misalnya, pemerintah meningkatkan kuota untuk orang yang lulus ujian tertentu tanpa menambah jumlah posisi yang tersedia.
Pelajaran dari proses sejarah ini sangat berharga untuk era kontemporer dan masa depan. Banyak negara di seluruh dunia saat ini menghadapi potensi ketidakstabilan dan kondisi yang mirip dengan Dinasti Qing.
Orlandi memperingatkan bahwa ketika banyak individu bersaing untuk jumlah posisi yang terbatas, pembuat kebijakan harus melihat ini sebagai tanda bahaya.
Daniel Hoyer, peneliti afiliasi CSH, menambahkan bahwa dampak negatif dari ketidaksetaraan yang meningkat dan peluang yang berkurang berkembang dalam skala waktu yang lebih panjang, sehingga sulit dikenali.
Orlandi menekankan bahwa tujuan utama mereka adalah untuk memahami dinamika sosial, yang kemudian dapat digunakan untuk membuat ramalan. Efektivitas pendekatan ini dengan menggunakan Teori Demografi Struktural (SDT) telah dibuktikan oleh peneliti dalam berbagai kesempatan.