Cekricek.id - Berbicara tentang identitas Indonesia tanpa menyebut warisan Melayu-Islam sama seperti menceritakan sejarah tanpa mengenali akar-akarnya. Kini, sebuah penelitian terbaru dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengungkapkan fakta menarik: pengaruh Islam terhadap kebudayaan Melayu ternyata jauh lebih kompleks dan mendalam daripada sekadar adopsi agama baru.
Penelitian yang ditulis oleh Hakimi Arsya dan Badrun, memperlihatkan bagaimana Islam tidak hanya "masuk" ke dalam budaya Melayu, tetapi benar-benar melebur dan menciptakan sebuah sintesis budaya yang unik. "Proses ini bukan sekadar Islamisasi, melainkan transformasi budaya yang melahirkan identitas baru," ungkap Arsya dalam penelitiannya yang dipublikasikan di jurnal Hijaz berjudul Pengaruh Islam dalam Kebudayaan Melayu.
Yang menarik, hasil riset ini menunjukkan bahwa masyarakat Melayu ternyata sangat terbuka terhadap perubahan budaya. Berbeda dengan anggapan umum bahwa perubahan budaya selalu menimbulkan resistensi, orang Melayu justru memfasilitasi difusi budaya Islam. Mereka tidak hanya menerima, tetapi aktif mengadaptasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Fenomena ini menjadi kunci untuk memahami mengapa Indonesia—dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia—memiliki karakteristik Islam yang berbeda dari Timur Tengah. Keunikan ini lahir dari proses akulturasi yang berlangsung selama berabad-abad antara budaya lokal Melayu dengan ajaran Islam.
Jejak Sejarah yang Terlupakan
Untuk memahami kedalaman pengaruh ini, kita perlu melihat kembali sejarah panjang bangsa Melayu. Jauh sebelum Islam tiba di Nusantara pada abad ke-8 hingga ke-11 Masehi, orang Melayu telah memiliki peradaban yang maju. Mereka adalah pelaut ulung, pedagang cerdas, dan memiliki sistem kepercayaan yang kompleks.
Istilah "Melayu" sendiri memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perjalanan peradaban. Menurut UNESCO tahun 1972, suku bangsa Melayu tersebar di Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Madagaskar. Namun yang menarik, istilah "Melayu" mengacu pada identitas yang berkembang seiring waktu—dari sekadar penanda geografis menjadi identitas budaya yang kompleks.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Melayu telah memiliki sistem perdagangan internasional yang menghubungkan mereka dengan pedagang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Posisi strategis Nusantara sebagai jalur perdagangan utama antara Asia Timur dan Barat membuat masyarakat Melayu terbiasa berinteraksi dengan berbagai budaya. Keterbukaan inilah yang kemudian memudahkan penyebaran Islam.
Penelitian Arsya mengungkapkan bahwa proses Islamisasi di Nusantara tidak terjadi melalui penaklukan militer, melainkan melalui jalur perdagangan, pernikahan, pendidikan, dan seni. Para pedagang Muslim yang datang tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga nilai-nilai, tradisi, dan pandangan hidup yang baru.
"Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang sangat halus dan adaptif," jelas Arsya. "Para penyebar Islam memahami budaya lokal dan tidak berusaha menghancurkannya, melainkan mengintegrasikannya dengan ajaran Islam."
Transformasi yang Mendalam namun Lembut
Proses akulturasi antara Islam dan budaya Melayu menghasilkan transformasi yang unik dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang bahasa, misalnya, bahasa Melayu menyerap banyak kosakata Arab yang kemudian menjadi bagian integral dari bahasa Indonesia modern. Kata-kata seperti "sejarah" (tarikh), "dunia" (dunya), "akhir" (akhir), dan "masjid" (masjid) adalah contoh bagaimana Islam memperkaya khazanah bahasa Melayu.
Dalam bidang hukum dan tata negara, pengaruh Islam juga sangat terasa. Sistem kerajaan Melayu-Islam mengadopsi konsep khalifah dan sultan, yang menggabungkan kepemimpinan politik dengan otoritas keagamaan. Hal ini berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional Melayu yang lebih bersifat animistik dan Hindu-Buddha.
Yang lebih menarik lagi, penelitian ini mengungkapkan bahwa Islam memberikan "formula" baru bagi kehidupan masyarakat Melayu. Jika sebelumnya masyarakat Melayu hidup dengan sistem kepercayaan yang beragam dan kadang saling bertentangan, Islam memberikan kerangka pemikiran yang lebih sistematis dan holistik.
Namun, proses ini bukan tanpa tantangan. Arsya mencatat bahwa ada periode di mana terjadi ketegangan antara nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal. Misalnya, dalam praktik seni dan budaya tertentu yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, masyarakat Melayu berhasil menemukan jalan tengah melalui proses negosiasi budaya yang panjang.
"Yang terjadi bukan penggantian budaya, melainkan transformasi," tegas Arsya. "Budaya Melayu tidak hilang, tetapi berevolusi dengan menambahkan elemen-elemen Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai lokal."
Warisan yang Hidup hingga Kini
Dampak dari proses akulturasi Islam-Melayu ini masih sangat terasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer. Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai yang lahir dari perpaduan Islam dan budaya Melayu telah menjadi fondasi karakter bangsa Indonesia.
Konsep gotong royong, misalnya, yang sering dianggap sebagai nilai asli Indonesia, ternyata adalah hasil dari perpaduan nilai komunalisme Melayu dengan semangat persaudaraan (ukhuwah) dalam Islam. Begitu pula dengan tradisi musyawarah mufakat yang menggabungkan sistem pengambilan keputusan tradisional Melayu dengan konsep syura dalam Islam.
Dalam bidang arsitektur, kita bisa melihat bagaimana masjid-masjid di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dari masjid di Timur Tengah. Atap tumpang, ornamen kayu, dan tata ruang yang terbuka mencerminkan adaptasi arsitektur Islam dengan iklim dan budaya lokal.
Penelitian Arsya juga menyoroti bagaimana proses akulturasi ini menciptakan model Islam yang toleran dan inklusif. "Islam di Indonesia memiliki karakteristik yang unik karena sejak awal ia berkembang melalui dialog dengan budaya lokal, bukan melalui dominasi," ungkapnya.
Hal ini terlihat dalam tradisi keagamaan masyarakat Indonesia yang masih mempertahankan beberapa ritual tradisional sambil tetap menjalankan ajaran Islam. Upacara slametan, tradisi ziarah makam, dan berbagai festival keagamaan menunjukkan bagaimana Islam dan budaya lokal dapat hidup berdampingan secara harmonis.
Baca juga: Dari Tragedi Karbala ke Pantai Pariaman: Perjalanan Spiritual Tradisi Tabuik
Namun, penelitian ini juga memberikan catatan penting tentang tantangan yang dihadapi warisan budaya Islam-Melayu di era modern. Globalisasi dan modernisasi membawa nilai-nilai baru yang kadang bertentangan dengan tradisi. Arsya menekankan pentingnya memahami akar sejarah untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan adaptasi terhadap perubahan zaman.
"Pemahaman tentang bagaimana nenek moyang kita berhasil mengintegrasikan Islam dengan budaya lokal dapat menjadi pembelajaran berharga untuk menghadapi tantangan multikultural di era modern," tutup Arsya.
Penelitian ini tidak hanya memberikan perspektif historis, tetapi juga relevansi yang kuat untuk Indonesia kontemporer. Di tengah arus globalisasi dan tantangan identitas nasional, memahami akar budaya Islam-Melayu menjadi kunci untuk mempertahankan karakter bangsa yang toleran, inklusif, dan beradab—sebuah warisan berharga yang telah diwariskan selama berabad-abad.