Siapa Mohammad Hatta?
Mohammad Hatta biasa disapa Bung Hatta adalah seorang pahlawan proklamator kemerdekaan Indonesia, politikus, dan ilmuwan penting yang dimiliki bangsa Indonesia.
Bersama dengan Sukarno, ia memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang juga menjadi wakil presiden pertama Indonesia.
Sewaktu menjabat wakil presiden pada rentang 1945—1949, ia pernah merangkap beberapa jabatan.
Antara lain tiga jabatan pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948—4 Agustus 1949) sebagai Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan; dan pada masa Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949—20 Desember 1949) ia merangkap dua jabatan, yaitu Wakil Presiden dan Perdana Menteri.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949, jabatan Wakil Presiden ditiadakan. Ia kemudian menjabat Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) sampai September 1950.
Ketika RIS bubar pada Agustus 1950 dan berganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia kembali menjadi Wakil Presiden.
Ia mengundurkan diri dari jabatannya pada 1956 setelah berbeda pendapat dengan Sukarno tentang persoalan demokrasi dan bagaimana negara harus berjalan. Ia lalu menjaga jarak dari pemerintah dan berusaha bersikap kritis
terhadap kebijakannya. Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat merupakan anak kedua dari pasangan Haji Muhammad Djamil dan Siti Saleha.
Ia terlahir dengan nama Mohammad Athar. Kata “Athar” berarti harum yang berasal dari bahasa Arab.
Nama ini pemberian ayahnya, Syaikh Abdulrachman, seorang guru agama dan salah satu pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah di Batuhampar, Sumatera Barat.
Ibu Hatta berasal dari keluarga pedagang sukses di Sumatera Barat. Sejak usia delapan bulan, Hatta menjadi yatim. Ayahnya wafat. Ia kemudian tumbuh dalam asuhan ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya.
Orang-orang di sekitarnya memanggil Athar dengan lafal Hatta. Nama “Hatta” inilah yang kemudian lebih sering dipakai orang untuk menyebutnya.
Ia mulai bersekolah pada usia lima tahun di sekolah Malayu Paripat sejak pagi hingga siang.
Selama siang hingga petang, ia bermain selayaknya anak-anak usianya. Petang hari, ia belajar bahasa Belanda ke Tuan Ledeboer.
Lepas Magrib ia mengaji di surau milik Syaikh Mohammad Djamil Djambek, ulama terkenal asal Sumatera Barat.
Ia pindah sekolah ke Europeesche Lagere School, sekolah dasar untuk anak-anak Belanda, pada usia enam tahun dan menempuh pendidikan sekolah menengah pertama di Padang.
Di kota ini ia bergabung ke Jong Sumatranen Bond, organisasi kepemudaan Sumatra, dan perlahan memahami seluk-beluk administrasi-organisasi.
Ia melanjutkan pendidikan menengah atas di Sekolah Dagang Prins Hendrik School di Batavia. Di tempat ini ia mulai mengenal sistem ekonomi dan seluk-beluk dagang.
Hatta melanjutkan pendidikan tingginya di negeri Belanda pada 1921 dengan memilih studi ekonomi. Ia mulai berkenalan dengan mahasiswa Hindia Belanda lainnya di sini dan memutuskan bergabung ke organisasi Indische Vereeniging (IV).
Di sana ia turut mengasuh majalah terbitan IV, yaitu Hindia Poetera. IV berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI) pada 1922. Sejak tahun 1926-1930, Hatta menjadi ketua PI.
Di bawah kepemimpinannya, PI menjelma kekuatan yang kritis terhadap kekuasaan kolonial di Hindia Belanda.
Untuk memperkuat daya kritik PI, Ia memperluas pergaulan dengan tokoh-tokoh anti kolonialisme dari pelbagai negara seperti Jerman, India, dan Mesir. Juga sempat ia berpidato pada 1927 di hadapan tokoh-tokoh Eropa dan Asia yang tergabung dalam Liga Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan.
Berbagai macam aktivitasnya ini mengundang sorotan dari Belanda. Tak lama setelah berpidato, ia ditangkap oleh Belanda, tapi Pengadilan Den Haag melepaskannya dari segala tuduhan pada 1928. Saat membela diri di pengadilan, ia membacakan pidatonya yang berjudul Indonesia Vrij atau Indonesia Bebas.
Hatta kembali ke Indonesia pada 1932. Waktunya habis untuk menulis artikel di sejumlah media massa seperti Daulat Rakjat. Selain itu, Hatta bergabung ke organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).
Melalui rapat-rapat politik PNI, ia menyampaikan pesan bahwa yang diperlukan Indonesia untuk merdeka ialah pendidikan. Ia tak terlalu percaya pada kekuatan massa sebagaimana yang sering Sukarno sampaikan. Aktivitasnya di PNI membuatnya harus berhadapan lagi dengan pemerintah kolonial.
Ia ditangkap lalu diasingkan ke Banda dan sanalah justru Hatta memberi anak-anak setempat pelajaran membaca, berhitung, dan menulis.
Ia dilepaskan setelah Belanda menyerah pada Jepang. Pada masa ini, ia aktif di Poetera (Poesat Tenaga Rakjat).
Pada masa menjelang dan awal kemerdekaan, Ia menyumbang gagasan mengenai filsafat dan susunan negara Indonesia melalui Badan Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Hatta kerap mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya menyimpang dan merugikan rakyat banyak.
Sebagai konsekuensi pilihannya, ia hidup sederhana dan tak terikat pada siapapun hingga meninggal di Jakarta pada 14 Maret 1980.
Referensi: Kamus Sejarah Indonesia.