Sumpah Terlarang dan Akhir Dinasti Kerajaan Koto Besar Takluk oleh Belanda

Sumpah Terlarang dan Akhir Dinasti Kerajaan Koto Besar Takluk oleh Belanda

Ilustrasi. [Foto: Dibuat dan dihasilkan dengan AI]

Cekricek.id - Di penghujung abad ke-19, sebuah kerajaan kecil di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi mengalami nasib yang mencerminkan tragedi banyak kerajaan Nusantara lainnya. Kerajaan Koto Besar, yang selama berabad-abad menjadi pamuncak (puncak tertinggi) bagi kerajaan-kerajaan kecil di Rantau Batanghari, jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda tanpa satu tembakan pun dilepaskan. Yang membuatnya lebih menyakitkan, kehancuran datang dari dalam—melalui pengkhianatan keluarga kerajaan sendiri.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal HISTORIA pada tahun 2020 mengungkap detail mengejutkan tentang bagaimana ekspansi kolonial Belanda berhasil meruntuhkan sistem kekuasaan elit tradisional di wilayah yang kini menjadi bagian Kabupaten Dharmasraya. Studi yang dilakukan Romi Arif dan tim dari Universitas Andalas ini menguak strategi licik kolonial yang memanfaatkan perpecahan internal untuk menguasai wilayah strategis tanpa perlawanan berarti.

Temuan ini penting karena memberikan gambaran konkret tentang bagaimana kolonialisme tidak selalu mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga manipulasi politik yang halus namun mematikan. Kasus Koto Besar menunjukkan pola yang berulang di berbagai wilayah Nusantara: kerajaan-kerajaan lokal runtuh bukan karena kalah berperang, melainkan karena terkikis dari dalam oleh ambisi personal dan ketidakpahaman akan ancaman kolonial.

Kerajaan yang Lahir dari Pengasingan

Keunikan Kerajaan Koto Besar dimulai dari asal-usulnya yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di Rantau Batanghari. Berdasarkan tambo (cerita turun-temurun) dan stempel kerajaan yang diperkirakan berasal dari akhir abad ke-17, kerajaan ini didirikan oleh Tuan Puti Langguk, seorang putri Pagaruyung yang diasingkan karena menderita penyakit kusta.

Kisah pendirian kerajaan ini membaca seperti novel tragis. Tuan Puti Langguk, adik Sultan Sahih Alam dari Pagaruyung, harus meninggalkan istana bersama empat pengawal setia setelah diperlakukan sebagai orang buangan oleh keluarganya sendiri. Mereka menelusuri sungai dan hutan hingga menemukan lokasi yang kemudian diberi nama Koto Besar—sebuah tempat di hulu sungai yang benar-benar kosong dari penghuni.

Yang membuat cerita ini semakin menarik adalah sumpah terlarang yang dilontarkan Sultan Sahih Alam ketika ia datang menjemput adiknya yang telah sembuh dari penyakit. Kemarahan sultan karena permintaannya untuk kembali ke Pagaruyung ditolak melahirkan kutukan yang melarang keturunan Koto Besar mengunjungi Pagaruyung, dan sebaliknya. Sumpah ini, menurut penelitian, bertahan hingga dicabut secara resmi pada 25 Mei 2013—lebih dari tiga abad kemudian.

Strategi Kolonial yang Terencana

Ketika Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Koto Besar pada akhir 1890-an, mereka datang dengan dalih yang terdengar mulia: ingin membantu mengamankan daerah dari serangan rakyat Jambi. Kontrolir Belanda yang cerdik ini memahami betul letak strategis Koto Besar sebagai penghubung antara wilayah Minangkabau dengan Kerajaan Jambi.

Penelitian Arif mengungkap bahwa Belanda tidak langsung menggunakan kekerasan, melainkan menerapkan strategi bertahap yang sangat efektif. Mereka pertama-tama meminta izin untuk menempatkan pasukan di wilayah Koto Besar dengan alasan keamanan. Setelah mendapat izin dari Yang di Pertuan Sri Maharaja Diraja (gelar raja Koto Besar), Belanda mulai mencari kelemahan internal kerajaan.

Yang paling mengejutkan adalah betapa mudahnya Belanda menemukan "kaki tangan" di dalam istana. Dua tokoh kunci yang berperan dalam kejatuhan kerajaan adalah Angku Sungut dan Tuanku Mudo—yang terakhir bahkan merupakan kemenakan (keponakan) kesayangan raja dan calon penggantinya.

Angku Sungut menjadi mata-mata pertama yang memberikan berbagai informasi rahasia tentang kerajaan kepada Belanda. Sementara Tuanku Mudo, yang digambarkan sebagai pemuda cerdas namun penakut, malah aktif membujuk pamannya untuk bersahabat dengan Belanda setelah terkesan dengan kekuatan militer kolonial.

Pengkhianatan yang Meruntuhkan Mahkota

Aspek paling tragis dari penelitian ini adalah pengungkapan detail pengkhianatan yang dilakukan keluarga kerajaan sendiri. Dokumen Belanda yang dikutip dalam penelitian menunjukkan bahwa Tuanku Mudo tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menjanjikan kepatuhan seluruh urang gadang (pemimpin lokal) dan raja-raja kecil di bawah pengaruh Koto Besar kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Motivasi di balik pengkhianatan ini, menurut analisis Kontrolir Belanda Palmer van den Broek, adalah ambisi kekuasaan pribadi. Tuanku Mudo ingin mengamankan posisinya sebagai pengganti raja, bahkan berharap mendapat jabatan dalam pemerintahan kolonial seperti Kepala Laras yang digaji oleh Belanda.

Yang membuat situasi semakin ironis adalah karakter Yang di Pertuan Sri Maharaja Diraja yang digambarkan Belanda sebagai seorang pemberani. Selama masa pemerintahannya, ia berhasil memperluas wilayah pengaruh kerajaan hingga ke Rantau Salak, Jujuhan, Indamar, Batu Kangkung, dan Sungai Kunyit. Namun, keberanian raja ini tidak didukung oleh loyalitas orang-orang terdekatnya.

Perjanjian yang Mengubah Segalanya

Pada tahun 1905, Koto Besar resmi menjadi bagian dari Residentie Sumatera Westkust setelah menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian singkat namun fatal ini memuat tiga poin yang semuanya menguntungkan kolonial: pengakuan bahwa daerah mereka adalah bagian dari Hindia Belanda di bawah Ratu Belanda, kesetiaan rakyat kepada Gubernur Jenderal, dan kesediaan mentaati segala peraturan pemerintah kolonial.

Dampak perjanjian ini sangat menghancurkan bagi struktur tradisional. Yang di Pertuan Sri Maharaja Diraja yang sebelumnya memiliki kedaulatan penuh untuk menyelesaikan masalah di wilayah Batang Siat, tiba-tiba kehilangan semua wewenangnya. Kerajaan dipaksa membayar pajak dalam jumlah besar, dan banyak benda pusaka kerajaan diambil Belanda sebagai "cindera mata."

Perubahan paling simbolis adalah ketika keluarga kerajaan yang sebelumnya bersuku Melayu Baye dipaksa berganti menjadi Suku Caniago demi kepentingan administrasi kolonial. Tradisi-tradisi kerajaan mulai terputus, dan peran elit tradisional berangsur-angsur digantikan oleh sistem pemerintahan modern ala Belanda.

Pelajaran dari Sejarah yang Terlupakan

Pada tahun 1913, pukulan terakhir datang ketika ibukota Onderafdeeling Batanghari dipindahkan dari Koto Besar ke Sungai Dareh. Keputusan ini secara simbolis menandai berakhirnya era Koto Besar sebagai pusat kekuasaan di wilayah tersebut. Kerajaan yang dulunya menjadi kiblat adat untuk wilayah Lareh Batangsiat dan Piruko, kini hanya tinggal nama dalam catatan sejarah.

Penelitian Arif dan timnya memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kolonialisme bekerja di tingkat lokal. Kasus Koto Besar menunjukkan bahwa kejatuhan kerajaan-kerajaan Nusantara tidak selalu melalui pertempuran heroik, tetapi sering kali melalui erosi perlahan dari dalam yang dimulai dengan pengkhianatan elit.

Lebih penting lagi, studi ini mengungkap pola yang sayangnya masih relevan: bagaimana ambisi kekuasaan pribadi dapat mengorbankan kepentingan bersama, dan bagaimana kekuatan asing dapat memanfaatkan perpecahan internal untuk mencapai tujuan mereka tanpa perlawanan berarti.

Kisah Kerajaan Koto Besar mungkin telah berakhir lebih dari seabad yang lalu, tetapi pesan yang dikandungnya tetap bergema hingga hari ini. Di era globalisasi dan persaingan internasional yang semakin ketat, pelajaran tentang pentingnya solidaritas internal dan kewaspadaan terhadap manipulasi eksternal menjadi semakin relevan untuk dipahami oleh generasi masa kini.

Baca Juga

Siak Lengih dan Masjid Keramat: Warisan Spiritual yang Mengubah Wajah Kerinci
Siak Lengih dan Masjid Keramat: Warisan Spiritual yang Mengubah Wajah Kerinci
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu