Pada tahun 1993, Sekitar 100 orang penghulu, ulama, dan lainnya, berkumpul di Ampek Angkek, Agam, untuk membicarakan upaya pemberantasan pelacuran di daerah itu.
Cekricek.id - Minangkabau, sebuah daerah yang kaya dengan tradisi dan budaya, ternyata memiliki sejarah yang tak banyak diketahui. Salah satunya adalah isu pelacuran yang, menurut catatan historis, bukanlah fenomena baru di daerah ini. Sebuah laporan dari harian Sinar Sumatra pada tahun 1933 mengungkapkan bagaimana masyarakat dan pemerintah berupaya memberantas praktik ini.
Sinar Sumatra, sebuah surat kabar yang dikelola oleh pengusaha Tionghoa dan terbit di Padang, memberikan gambaran tentang rapat kerapatan yang diadakan pada 13 November 1933.
Rapat ini dihadiri oleh Districthoofd Biaro, kaum penghulu, alim ulama, dan masyarakat Ampek Angkek, Agam. Dengan lebih dari 100 peserta, rapat ini menjadi ajang diskusi serius tentang pelacuran yang semakin merajalela.
Districthoofd Biaro, yang memimpin rapat tersebut, menyoroti bahaya yang ditimbulkan oleh pelacuran. Menurutnya, praktik ini bukan hanya merusak moral masyarakat, tetapi juga mengancam tradisi dan adat istiadat Minangkabau yang telah lama dihormati. Pelacuran, sebagai wabah sosial, memerlukan perhatian serius dari ninik mamak, para penjaga tradisi dan nilai-nilai masyarakat.
Dalam rapat tersebut, beberapa tokoh masyarakat, termasuk H. Zainoeddin Oemar dan Rafai, memberikan pandangannya. Ada yang menyarankan agar gadis-gadis berusia 16 tahun segera dinikahkan, meskipun mereka sendiri mungkin belum siap.
Sementara itu, ada juga yang mengusulkan agar sebelum seorang gadis dinikahkan, harus ditanyakan terlebih dahulu kepada gadis tersebut siapa pemuda yang diinginkannya sebagai pasangan.
Namun, meskipun banyak usulan dan pandangan yang disampaikan, rapat tersebut belum menghasilkan keputusan konkret. Rapat dijadwalkan untuk dilanjutkan di hari lain, menunjukkan betapa seriusnya masyarakat dan pemerintah dalam menangani masalah ini.
Laporan dari Sinar Sumatra ini memberikan kita gambaran tentang bagaimana masyarakat Minangkabau di masa lalu berupaya mengatasi masalah sosial. Meskipun konteks dan tantangannya mungkin berbeda dengan masa kini, semangat untuk menjaga tradisi dan moral tetap relevan.
Berikut laporan harian Sinar Sumatra edisi Jumat, 17 November 1933 yang ditulis olej Himalaja, sebagaimana dikutip laman pribadi, Suryadi:
Kerapatan negri dan pelatjoeran. Pada tanggal 13 November jang laloe atas andjoerannja Districthoofd Biaro telah dilansoengkan Kerapatan Pengholoe pengholoe, alim oelama seloeroeh Ampat Angkat, bertempat di gedoeng Tamhidoesibijau Biaro. Semoea jang hadir koerang lebih 100 orang. Kerapatan dipimpin sendiri oleh Districthoofd.
Disini soedah diperbintjangken bagimana pelatjoeran semangkin loeas dan bagimana daja-oepaja membasminja. Oleh pemimpin diterangken bahaja bahaja jang didapet dari pelatjoeran, apa poela di Minangkabau jang poenjaken adat tegoeh, itoe wabah pelatjoeran pantas sekali dapet perhatiannja ninik mamak, jang tjerdik pandei dalam negri.
Kemoedian setelah beberapa orang oeroet bitjara, antaranja toean toean H. Zainoeddin Oemar dan Rafai, dan di sini roepa roepa voorstel dimadjoeken.
Satoe spreker voorstelken kaloe di dapet anak parempoean oesia 16 taon moesti lekas dikawinken, kendati marika tida menjoekai. Laen voorstel mengataken, kaloe satoe gadis maoe dinikahken, hendaklah lebih doeloe ditanja padanja siapa pemoeda jang diseokainja.
Hasil dari ini, Kerapatan beloem lagi dapet kepoetoesan dan dioendoerken di laen hari. Ini poen satoe tindakan jang bagoes djoega! (Himalaja)
Temukan berita Agam terbaru hari ini dan terkini seputar peristiwa, politik, hukum, kriminal, budaya, sejarah, hiburan, dan gaya hidup hanya di Cekricek.id.