{"id":267024,"date":"2025-01-01T08:42:33","date_gmt":"2025-01-01T01:42:33","guid":{"rendered":"https:\/\/cekricek.id\/?p=267024"},"modified":"2025-01-01T08:42:52","modified_gmt":"2025-01-01T01:42:52","slug":"mengungkap-kejayaan-kerajaan-melayu-kuno-dari-jambi-hingga-dharmasraya","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/cekricek.id\/mengungkap-kejayaan-kerajaan-melayu-kuno-dari-jambi-hingga-dharmasraya\/","title":{"rendered":"Mengungkap Kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dari Jambi hingga Dharmasraya"},"content":{"rendered":"\n
Cekricek.id<\/strong> - Kerajaan Melayu Kuno merupakan salah satu kekuatan maritim terbesar yang pernah menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Samudera Hindia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerajaan ini berakar dari tiga kerajaan kuno yaitu Koying, Tupo, dan Kantoli yang tumbuh pada abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi.<\/p>\n\n\n\n \"Pembahasan sejarah kerajaan Melayu dapat dikatakan sebagai terra incognita dalam kajian sejarah Nusantara,\" jelas Arif Rahim, Dosen FKIP Universitas Batanghari dalam \"Kerajaan Melayu Kuno: Tinjauan Sejarah Jambi Hingga abad 13<\/a><\/em>\" (2022). Ungkapan ini tidak berlebihan mengingat pembahasan tentang Kerajaan Melayu berperan sebagai gerbang informasi tentang perkembangan sejarah Nusantara pada milenium pertama abad Masehi.<\/p>\n\n\n\n Kerajaan Melayu berakar pada tiga kerajaan kuno yang telah ada sejak abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi. Kerajaan pertama adalah Koying, yang keberadaannya diketahui dari catatan Kuang-Tai dan Wan-Chen (222-280) serta ensiklopedi Tung-Tien karya Tuyu (375). Wilayah Koying dicirikan oleh keberadaan gunung berapi dan teluk Wen di bagian selatan.<\/p>\n\n\n\n Aktivitas perdagangan Koying sangat intensif dengan wilayah-wilayah di bagian barat dan selatan Sumatera, serta dengan Tonkin dan Funan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-3, kawasan ini telah menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan maritim. Komoditas utama yang diperdagangkan meliputi mutiara, emas, perak, batu giok, kristal dan pinang.<\/p>\n\n\n\n Para ahli sejarah memperkirakan lokasi Kerajaan Koying berada di sekitar Bukit Barisan Sumatera Tengah. Seiring waktu, pusat kerajaan berpindah ke Muara Tebo, dan kemudian ke Kuala Tungkal akibat pendangkalan teluk Wen.<\/p>\n\n\n\n Kerajaan kedua yang menjadi cikal bakal Melayu adalah Kantoli. Catatan Cina dari masa pemerintahan Hsiau-Wu (459-464 M) pertama kali mencatat keberadaan kerajaan ini saat rajanya, Sa-pa-la-na-lin-da, mengirim utusan bernama Taruda ke Cina. Hubungan diplomatik Kantoli dengan Cina semakin intensif pada masa Dinasti Liang, ditandai dengan pengiriman utusan pada tahun 502, 519, dan 520 M.<\/p>\n\n\n\n Lokasi pasti Kerajaan Kantoli masih diperdebatkan hingga kini. G. Ferrand menyamakan Kantoli dengan Kandari berdasarkan berita Ibnu Majid tahun 1462 M. Sementara itu, catatan Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan bahwa San-fo-tsi dahulu sama dengan Kandali (Kan-to-li), yang menurut O.W Wolters merujuk pada Sriwijaya di Palembang.<\/p>\n\n\n\n Pendapat berbeda dikemukakan J.L Moens yang mengidentifikasi Kantoli dengan Singkil di pantai barat Aceh. Sementara J.J Boeles berpendapat Kantoli terletak di Thailand Selatan, meski pendapat ini dibantah O.W Wolters karena tidak ditemukannya keramik Cina zaman Sung di daerah tersebut.<\/p>\n\n\n\n Slamet Mulyana mengajukan teori bahwa Kantoli berada di daerah Jambi. Ia mendasarkan pendapatnya pada analisis linguistik, membandingkan toponim Kandala atau Kantoli dengan nama-nama daerah di India seperti Bengala-Benggali, Gandhara-Gandhari, dan Kuntala-Kuntali.<\/p>\n\n\n\n Meski tidak banyak catatan yang tersisa tentang Kerajaan Tupo, keberadaannya tidak kalah penting dalam pembentukan Kerajaan Melayu. Beberapa sejarawan mengidentifikasi Tupo dengan kawasan Tebo yang kini berada di Provinsi Jambi. Letaknya yang strategis di tepian Sungai Batanghari menjadikannya titik penting dalam jalur perdagangan sungai yang menghubungkan pedalaman Sumatera dengan pelabuhan-pelabuhan di pesisir timur.<\/p>\n\n\n\n Keberadaan Kerajaan Melayu sebagai entitas politik mandiri pertama kali tercatat dalam dokumen Dinasti Tang tahun 644-645 M, yang mencatat kedatangan utusan dari Mo-lo-you. Perkembangan kerajaan ini dapat diketahui lebih detail melalui catatan perjalanan pendeta Buddha I-Tsing antara tahun 671 dan 685 M.<\/p>\n\n\n\n Dalam catatannya, I-Tsing menggambarkan Melayu sebagai pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan maritim antara Cina dan India. Ia singgah di Melayu dua kali: pertama selama dua bulan dalam perjalanannya ke India tahun 671\/672 M, dan kedua selama enam bulan saat kembali ke Cina tahun 685 M.<\/p>\n\n\n\n Perdebatan tentang lokasi pusat Kerajaan Melayu masih berlangsung hingga kini. Soekmono berpendapat pusat kerajaan berada di Jambi, mengacu pada teori Obdeyn tentang garis pantai Jambi purba. Menurutnya, pada abad ke-7 pelabuhan Jambi berada di pinggir pantai, tepatnya di sebuah teluk yang menjorok ke pedalaman. Teori ini diperkuat oleh berita Ptolomeous yang menyebutkan adanya tiga pulau di Teluk Jambi pada awal tarikh Masehi.<\/p>\n\n\n\n Namun teori ini mendapat sanggahan berdasarkan penelitian geologi. Para ahli mencatat bahwa pertumbuhan daratan di daerah Sumatera bagian timur hanya berkisar 10-30 meter per tahun. Dengan demikian, untuk mencapai jarak 100 kilometer (jarak antara Tebo dan garis pantai timur Sumatera) diperlukan waktu yang sangat lama, jauh sebelum masa Kerajaan Melayu.<\/p>\n\n\n\n Slamet Mulyana mengajukan teori berbeda dengan menempatkan pusat Kerajaan Melayu di Muara Tebo. Ia mendasarkan pendapatnya pada analisis etimologis kata Melayu yang berarti bukit, yang menurutnya tidak cocok dengan kondisi geografis Jambi yang relatif datar. Mulyana membedakan antara pusat pemerintahan dengan pelabuhan Melayu, seperti halnya Singhasari dan Majapahit yang memiliki pusat kerajaan terpisah dari pelabuhannya.<\/p>\n\n\n\n Catatan I-Tsing tahun 685 M menandai perubahan status Melayu yang jatuh ke dalam kekuasaan Sriwijaya. Penaklukan ini dikonfirmasi oleh dua prasasti peninggalan Sriwijaya: prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka (686 M) dan prasasti Karang Brahi di hulu Batang Merangin. Kedua prasasti ini berisi kutukan bagi mereka yang tidak tunduk pada kekuasaan raja Sriwijaya.<\/p>\n\n\n\n Meski berada di bawah kekuasaan Sriwijaya, pelabuhan Melayu tetap memainkan peran penting dalam jalur perdagangan maritim. Hal ini menunjukkan kebijakan Sriwijaya yang cenderung mempertahankan fungsi ekonomi wilayah-wilayah taklukannya sambil mengamankan kepentingan politiknya.<\/p>\n\n\n\n Tanda-tanda kebangkitan Melayu mulai terlihat pada abad ke-11, setelah Sriwijaya mengalami kemunduran akibat serangan Kerajaan Cola dari India. Berita Sung-hui-yao mencatat bahwa pada tahun 1082, Sun-Chiang selaku Wakil Kepala Urusan Pengangkutan dan Dagang di Cina menerima surat dari raja Chan-pi (Jambi) dan dari putri raja yang mengawasi urusan negara San-fo-tsi.<\/p>\n\n\n\nTiga Kerajaan Pendahulu: Fondasi Kekuatan Maritim<\/h2>\n\n\n\n
Kantoli: Kerajaan Maritim yang Misterius<\/h2>\n\n\n\n
Tupo: Kerajaan yang Terlupakan<\/h2>\n\n\n\n
Kemunculan dan Kejayaan Kerajaan Melayu<\/h2>\n\n\n\n
Perdebatan Lokasi Pusat Kerajaan<\/h2>\n\n\n\n
Masa di Bawah Pengaruh Sriwijaya<\/h2>\n\n\n\n
Kebangkitan dan Masa Kejayaan<\/h2>\n\n\n\n