Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno

Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno

Ilustrasi. [Foto: Istimewa]

Cekricek.id - Di sebuah surau tua di Pariangan, Tanah Datar, tersimpan sebuah naskah berusia hampir 200 tahun yang menyimpan rahasia transformasi besar masyarakat Minangkabau. Naskah tambo "Undang-Undang Minangkabau" dari Surau Parak Laweh ini bukan sekadar catatan sejarah biasa—ia adalah saksi bisu bagaimana Islam secara radikal mengubah cara suku Minangkabau memandang asal-usul dan identitas mereka.

Menghilangkan Raja, Menghadirkan Nabi

Hal yang paling mengejutkan dari naskah kuno ini adalah ketiadaan total sosok Raja Adityawarman, penguasa Kerajaan Pagaruyung yang secara historis pernah menguasai tanah Minangkabau pada abad ke-14. Sebaliknya, tambo ini memulai narasi sejarah Minangkabau langsung dari Nabi Adam dan putra bungsunya, Iskandar Dzulqarnain, yang diklaim sebagai nenek moyang orang Minang.

"Ini bukan kebetulan," jelas Dr. Fikri Surya Pratama, peneliti dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang yang mengkaji naskah tersebut dalam laporan penelitiannya berjudul "Pengaruh Islam Pada Tambo Dalam Narasi Sejarah Asal Muasal Dan Transformasi Sosial Masyarakat Minangkabau". "Penghilangan figur Adityawarman yang beragama Hindu-Buddha ini adalah strategi sadar untuk 'mengislamkan' sejarah etnis Minangkabau."

Strategi ini mencerminkan fenomena yang lebih besar: bagaimana komunitas Tarekat Syatariyah—kelompok spiritual Islam yang menulis tambo ini—secara sistematis merekonstruksi memori kolektif masyarakat Minangkabau. Mereka tidak hanya sekadar menghapus, tetapi juga mengganti narasi sejarah dengan tokoh-tokoh Islam yang lebih "sesuai" dengan identitas keagamaan yang mereka kehendaki.

Dari Lisan ke Tulisan: Revolusi Abad ke-19

Tradisi tambo Minangkabau sebenarnya telah eksis dalam bentuk lisan selama berabad-abad. Namun, transformasi besar terjadi pada abad ke-19, tepat setelah berakhirnya Perang Paderi—konflik ideologis dan politik yang mengubah lanskap sosial Minangkabau secara permanen.

"Sebelumnya, masyarakat Minangkabau mengandalkan tradisi lisan yang kuat," ungkap Pratama. "Tetapi setelah Perang Paderi, mulailah era penulisan tambo dan hukum adat dalam bentuk tertulis."

Momen ini bukan kebetulan belaka. Pemerintah kolonial Belanda yang baru saja memenangkan Perang Paderi memerintahkan penulisan berbagai aturan adat dan tambo untuk kepentingan administratif mereka. Namun, kelompok Tarekat Syatariyah memanfaatkan kesempatan ini untuk agenda yang jauh lebih besar: dakwah dan konsolidasi identitas Islam Minangkabau.

Naskah yang Mengubah Segalanya

Naskah yang kini tersimpan di British Library ini ditulis ulang pada 17 Agustus 1962 oleh Ahmad Datuak Panghulu Sati, seorang khalifah (pemimpin spiritual) Tarekat Syatariyah di Pariangan. Kondisi fisiknya menunjukkan usia: kertas menguning, sebagian dimakan rayap, dengan banyak kesalahan penyalinan yang mencerminkan tradisi copy-paste manual era pra-digital.

Yang membuatnya istimewa bukan kondisi fisiknya, melainkan kontennya yang revolusioner. Tambo ini tidak hanya menceritakan asal-usul, tetapi juga mengintegrasikan sistem adat Minangkabau dengan nilai-nilai Islam secara komprehensif. Mulai dari aturan pembentukan nagari (desa) yang harus memiliki masjid dan balai adat, sistem pewarisan pusako (harta adat) yang dikaitkan dengan konsep wakaf Islam, hingga kepemimpinan yang harus bersumber pada Al-Qur'an dan Hadis.

Jejak Perjalanan Leluhur: Dari Champa hingga Jawa

Salah satu aspek paling menarik dari tambo ini adalah narasi perjalanan Sultan Sri Maharadja Diradja—tokoh yang diklaim sebagai pendiri masyarakat Minangkabau—beserta pengawalnya: Anjing Mu'alim, Kucing Siam, Harimau Champa, dan Kambing Hutan.

Nama-nama pengawal ini bukan sekadar simbolis. Champa merujuk pada kerajaan kuno di wilayah kini Vietnam dan Kamboja, sedangkan Siam adalah nama lama Thailand. Hal ini mengindikasikan bahwa penulis tambo memiliki pengetahuan tentang jaringan perdagangan dan peradaban Asia Tenggara yang luas.

"Narasi ini mencerminkan realitas historis tentang jalur perdagangan maritim Nusantara," analisis Pratama. "Minangkabau memang bagian dari jaringan perdagangan yang menghubungkan India, Tiongkok, dan Asia Tenggara."

Yang unik, tambo ini juga menceritakan beberapa kali perjalanan bolak-balik antara Jawa dan Sumatera untuk mengambil kayu jati—detail yang mengejutkan akurat secara ekologis karena kayu jati memang tersebar di Jawa dan beberapa wilayah Indonesia lainnya.

Strategi Dakwah Melalui Genealogi

Menurut Azyumardi Azra, sejarawan terkemuka Indonesia, pengkaitan silsilah Minangkabau dengan Iskandar Dzulqarnain (Alexander Agung versi Islam) merupakan teknik Islamisasi klasik yang digunakan di berbagai wilayah Nusantara. "Ini adalah strategi tasawuf untuk melegitimasi keislaman suatu komunitas dengan menghubungkannya pada figur-figur agung dalam tradisi Islam," jelasnya dalam karya akademisnya.

Strategi ini sangat efektif karena Iskandar Dzulqarnain disebut dalam Al-Qur'an, sehingga memiliki legitimasi keagamaan yang kuat. Dengan mengklaim keturunan dari tokoh Qur'ani, masyarakat Minangkabau tidak hanya mendapat identitas Islam yang kuat, tetapi juga mewarisi "kemuliaan" spiritual yang tinggi.

Transformasi Sosial: Dari Adat ke Syarak

Penelitian ini mengungkap bahwa tambo bukan hanya dokumen sejarah, tetapi juga instrumen transformasi sosial yang sangat canggih. Setiap aspek kehidupan masyarakat Minangkabau—dari sistem pemerintahan, hukum pernikahan, hingga penyelesaian konflik—diintegrasikan dengan prinsip-prinsip Islam melalui narasi tambo.

Filosofi "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" (adat bersendi syariat, syariat bersendi Al-Qur'an) yang menjadi pegangan hidup masyarakat Minangkabau tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari proses panjang integrasi nilai-nilai Islam ke dalam struktur sosial tradisional, yang salah satu instrumen utamanya adalah penulisan ulang tambo.

Agenda Politik di Balik Dakwah

Yang tidak kalah menarik, tambo ini juga menghadirkan narasi peperangan antara "Datuk Nan Betiga" (Tiga Datuk) melawan "Ulanda Syaiṭan" (Belanda Setan). Secara kronologis, narasi ini tidak akurat karena tokoh-tokoh tersebut hidup jauh sebelum kedatangan Belanda. Namun, ini justru menunjukkan agenda politik di balik penulisan tambo.

"Narasi peperangan ini adalah bentuk perlawanan simbolis terhadap kolonialisme," analisis Pratama. "Tarekat Syatariyah menggunakan tambo sebagai media untuk menanamkan semangat jihad dan nasionalisme di kalangan masyarakat Minangkabau."

Menariknya, dalam narasi tersebut, pihak Belanda yang kalah kemudian masuk Islam dan memberikan "emas sepuluh karung" sebagai bentuk zakat muallaf (bantuan untuk yang baru masuk Islam). Ini menunjukkan bahwa tujuan akhir dari "peperangan" bukanlah kehancuran, melainkan dakwah dan penyebaran Islam.

Baca juga: Peran Strategis Bundo Kanduang dalam Mewariskan Budaya Minangkabau

Warisan yang Masih Hidup

Hari ini, ketika modernisasi menggerus tradisi, Surau Parak Laweh Pariangan masih mempertahankan tradisi penyalinan naskah. Para murid Tarekat Syatariyah generasi baru tetap mempelajari tambo ini dalam perkumpulan rutin mereka, menjadikannya salah satu dari sedikit tradisi intelektual klasik yang masih hidup di Indonesia.

"Ini menunjukkan vitalitas tradisi Islam lokal," kata Pratama. "Dalam era global ini, tambo tetap relevan sebagai sumber identitas dan panduan hidup masyarakat Minangkabau."

Penelitian terhadap naskah "Undang-Undang Minangkabau" dari Surau Parak Laweh ini membuka mata tentang kompleksitas proses Islamisasi di Nusantara. Islam tidak datang sebagai kekuatan yang menghancurkan budaya lokal, melainkan sebagai kekuatan yang mentransformasi dan mengintegrasikan. Melalui tambo, kita bisa melihat bagaimana sebuah komunitas spiritual berhasil mengubah tidak hanya praktik keagamaan, tetapi juga memori kolektif dan identitas sosial suatu etnis.

Dalam konteks Indonesia kontemporer yang majemuk, kisah transformasi Minangkabau ini menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana tradisi dan modernitas, lokal dan universal, dapat berdialog secara konstruktif tanpa saling meniadakan.

Baca Juga

Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu
Misteri Gulungan Laut Mati: Naskah Kuno 2.000 Tahun dari Gua Qumran
Misteri Gulungan Laut Mati: Naskah Kuno 2.000 Tahun dari Gua Qumran
Mengungkap Kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dari Jambi hingga Dharmasraya
Mengungkap Kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dari Jambi hingga Dharmasraya