Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung

Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung

Ilustrasi. [Foto: Dibuat dan dihasilkan dengan AI]

Cekricek.id - Selama berabad-abad, masyarakat suku Sakai di pedalaman hutan Riau meyakini satu hal: leluhur mereka berasal dari tanah Pagaruyung di Sumatera Barat, kampung halaman suku Minangkabau. Keyakinan ini hidup dalam cerita-cerita yang diwariskan turun-temurun, tanpa pernah ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Hingga kini, penelitian terbaru menggunakan teknologi DNA mikrosatelit akhirnya memberikan jawaban mengejutkan: cerita nenek moyang itu ternyata benar.

Penelitian yang dilakukan tim dari Universitas Udayana berhasil mengungkap bukti ilmiah kekerabatan genetik antara kedua suku yang terpisah ratusan kilometer ini. Hasilnya mengejutkan: jarak genetik keduanya hanya 0,269 dengan tingkat kemiripan gen mencapai 76,4 persen. Angka ini menunjukkan kedua suku memiliki ikatan darah yang sangat erat.

Jejak DNA dalam Sel Pipi

Dr. Tyara, peneliti utama dari Program Studi Biologi Universitas Udayana, menggunakan pendekatan non-invasif untuk mengumpulkan sampel DNA. "Kami mengambil sampel dari 60 orang—30 dari suku Sakai di enam pemukiman di Kabupaten Bengkalis, Riau, dan 30 lainnya dari suku Minangkabau di Desa Pagaruyung, Sumatera Barat," jelasnya dalam laporan yang dipublikasi dalam Jurnal Biologi Udayana Vol. 24, No. 1, Juni 2021 dengan judul "Variasi genetik dan jarak genetik suku Sakai di Provinsi Riau dengan suku Minangkabau di Desa Pagaruyung Sumatera Barat berdasarkan DNA mikrosatelit."

Tim peneliti menggunakan teknik cotton bud untuk mengambil sel epitel dari dalam pipi para responden. Sampel kemudian dianalisis menggunakan tiga lokus DNA mikrosatelit: D2S1338, D16S539, dan D13S317. Ketiga lokus ini dipilih karena tingkat akurasinya yang tinggi dalam menentukan hubungan kekerabatan antar populasi.

Proses ekstraksi DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform yang dimodifikasi tanpa proteinase-K dan inkubasi suhu tinggi. "Modifikasi ini menyederhanakan prosedur sambil tetap mempertahankan kualitas DNA yang dibutuhkan," kata Tyara.

Angka-angka yang Bercerita

Hasil analisis menggunakan software GenAlEx 6.503 mengungkap fakta menarik. Suku Sakai memiliki 10 ragam alel yang tersebar dalam tiga lokus DNA mikrosatelit, sementara suku Minangkabau memiliki 11 ragam alel. Meski terlihat sederhana, angka ini menyimpan makna mendalam tentang sejarah kedua suku.

Yang mengejutkan, nilai heterozigositas—ukuran keragaman genetik dalam populasi—menunjukkan pola yang berbeda. Suku Sakai memiliki nilai heterozigositas diamati (Ho) lebih tinggi dari yang diharapkan (He): 0,636 berbanding 0,557. Sebaliknya, suku Minangkabau menunjukkan pola yang berlawanan: 0,435 berbanding 0,615.

"Pola ini mengindikasikan adanya isolate-breaking effect pada suku Sakai," jelas Tyara. "Artinya, masyarakat Sakai yang dulunya terisolasi di pedalaman hutan kini mulai berbaur dengan suku lain melalui perkawinan antaretnis."

Dari Pagaruyung hingga Tepian Sungai Gasib

Temuan penelitian ini mendukung kuat versi sejarah yang diceritakan para tetua Sakai. Menurut Suparlan (1995), leluhur suku Sakai memang berasal dari Pagaruyung dan bermigrasi ke tepian Sungai Gasib di Riau. Pagaruyung sendiri adalah pusat Kerajaan Minangkabau dan hingga kini menjadi jantung budaya suku Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Nilai diferensiasi genetik (F'ST) sebesar 0,088 menunjukkan perbedaan genetik yang sedang antara kedua suku. Menurut klasifikasi Nei (1973), nilai ini mengindikasikan kedua populasi masih memiliki kemiripan genetik yang signifikan meski telah terpisah secara geografis.

Lebih menarik lagi, penelitian menunjukkan adanya laju migrasi empat orang per generasi antara kedua suku. "Ini berarti sepanjang sejarah, selalu ada perpindahan penduduk atau perkawinan antaretnis yang menghubungkan kedua komunitas," kata Tyara.

Alel yang Bercerita tentang Masa Lalu

Analisis mendalam terhadap frekuensi alel mengungkap detail menarik tentang hubungan kedua suku. Pada lokus D2S1338, baik suku Sakai maupun Minangkabau memiliki alel 185 base pair (bp) dengan frekuensi tertinggi—0,482 pada Sakai dan 0,357 pada Minangkabau. Begitu pula pada lokus D16S539, kedua suku berbagi alel 164 bp sebagai yang paling dominan.

"Kesamaan alel dengan frekuensi tertinggi ini menunjukkan adanya founding father yang sama," jelas Tyara. "Ini adalah alel awal yang dibawa leluhur bersama, kemudian bermutasi dan berkembang seiring waktu menjadi variasi yang kita lihat sekarang."

Menariknya, beberapa alel ditemukan hanya pada satu suku dan tidak pada yang lain. Hal ini mendukung teori bahwa meski berasal dari leluhur sama, kedua suku telah mengalami evolusi genetik yang berbeda akibat isolasi geografis dan percampuran dengan populasi lain.

Jejak Sejarah dalam DNA Modern

Temuan ini tidak hanya mengkonfirmasi cerita lisan yang hidup dalam masyarakat Sakai, tetapi juga memberikan perspektif baru tentang dinamika migrasi dan percampuran etnis di Nusantara. Kisaran panjang alel yang ditemukan—177-197 bp untuk D2S1338, 148-176 bp untuk D16S539, dan 180-192 bp untuk D13S317—masih berada dalam rentang yang sama dengan suku-suku lain di Indonesia.

"Ini menunjukkan bahwa suku Sakai dan Minangkabau adalah bagian dari kontinuum genetik yang lebih besar di Indonesia, khususnya dalam rumpun Proto-Melayu dan Deutero-Melayu," kata Tyara.

Suku Sakai, yang kini tercatat sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan populasi terbesar di Kabupaten Bengkalis (9.953 jiwa pada 2015), telah mengalami perubahan gaya hidup drastis. Dari nomaden pedalaman hutan dengan sistem ladang berpindah, mereka kini bermukim tetap dan berbaur dengan suku lain akibat alih fungsi lahan hutan.

Implikasi untuk Masa Depan

Penelitian ini membuka jalan bagi studi-studi lanjutan tentang keragaman genetik masyarakat Indonesia. Dengan jumlah alel yang relatif sedikit dibandingkan suku lain—suku Batak memiliki 32 ragam alel, Dayak Kaharingan 29 alel—suku Sakai dan Minangkabau menunjukkan tingkat keragaman genetik yang moderat.

"Data ini penting untuk memahami sejarah migrasi manusia di Asia Tenggara dan dapat menjadi baseline untuk penelitian antropologi genetik selanjutnya," kata Tyara.

Bagi masyarakat Sakai sendiri, temuan ini memberikan validasi ilmiah terhadap identitas budaya mereka. Cerita-cerita tentang asal-usul yang selama ini hanya dituturkan secara lisan kini memiliki landasan ilmiah yang kuat.

Namun penelitian ini juga mengingatkan akan pentingnya melestarikan keragaman genetik dan budaya. Dengan nilai heterozigositas yang menunjukkan percampuran genetik yang semakin intensif, penting untuk mendokumentasikan dan melestarikan warisan genetik dan budaya yang unik dari kedua suku ini.

Baca juga: Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno

DNA telah berbicara: cerita nenek moyang suku Sakai tentang asal-usul mereka dari Pagaruyung ternyata bukan sekadar mitos. Dengan jarak genetik hanya 0,269 dan kemiripan gen mencapai 76,4 persen, suku Sakai dan Minangkabau adalah keluarga besar yang terpisah ruang namun tetap terhubung darah. Penelitian ini membuktikan bahwa sains modern dapat mengkonfirmasi kearifan tradisional, menghubungkan masa lalu dengan masa kini melalui jejak-jejak tak terlihat dalam DNA kita.

Baca Juga

Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Ketika Islam Menulis Ulang Sejarah Minangkabau: Jejak Spiritual dalam Tambo Kuno
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital
Ketika Twitter Jadi Ladang Perlawanan: Kebangkitan Nasionalisme Melayu Baru di Era Digital
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Pasar Tradisional Minangkabau Terbukti Jadi Inkubator Kapitalisme Lokal Selama Puluhan Tahun
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu
Misteri Gulungan Laut Mati: Naskah Kuno 2.000 Tahun dari Gua Qumran
Misteri Gulungan Laut Mati: Naskah Kuno 2.000 Tahun dari Gua Qumran
Mengungkap Kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dari Jambi hingga Dharmasraya
Mengungkap Kejayaan Kerajaan Melayu Kuno dari Jambi hingga Dharmasraya