Cekricek.id - "Wanita dijajah pria sejak dulu Dijadikan perhiasan sangkar madu … " Demikianlah potongan lirik dari ciptaan Ismail Marzuki yang mencerminkan dinamika kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.
Dahulu kala, kaum perempuan selalu mendapati diri mereka berada di bawah kendali kaum laki-laki. Contohnya, masa Kartini menunjukkan betapa sulitnya bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi seperti halnya laki-laki. Tidak hanya itu, mereka juga terbatas dalam hak untuk memilih atau menolak peran sebagai selir atau istri kedua. Hidup dalam keterbatasan yang memihak pada kaum pria.
Meskipun era emansipasi kini sedang merajai, sikap diskriminatif terhadap perempuan masih tetap berlangsung. Di lingkungan kantor, masih terdapat jabatan-jabatan tertentu yang dianggap tidak pantas diisi oleh perempuan. Bahkan, pelecehan seksual, baik dalam bentuk perkosaan maupun bentuk lainnya, masih kerap terjadi.
Ingatan kita masih terbayang dengan jelas peristiwa kerusuhan 14 Mei 1998, di mana banyak perempuan menjadi korban pelecehan seksual. Ironisnya, tindakan terhadap pelaku pelecehan sering kali tidak ada. Dalam keadaan seperti itu, perempuan hanya bisa menangis merenungi nasibnya. Seperti yang diungkapkan Arahmaiani, seorang perupa langka yang lebih sering mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan, "Tak ada cukup ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan diri."
Dikutip buku Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan V (2000), salah satu contoh karya Arahmaiani yang berjudul "Aku Cinta Padamu" menciptakan gambaran hubungan akrab antara dua makhluk, namun lukisannya menggambarkan seorang pria telanjang di sofa, dengan sosok laki-laki bertopeng di belakangnya, memegang pisau, dan tangan kirinya mencekik leher seorang perempuan.
Hal serupa terlihat dalam karya "Halo Sayang," di mana seorang perempuan digambarkan setengah badan dengan laras pistol di pelipisnya, yang dipegang oleh tangan yang kekar. Meskipun judulnya menunjukkan kelembutan, gambarnya malah menggambarkan kekerasan terhadap perempuan. Yani, panggilan akrab bagi perempuan berusia 38 tahun itu, sengaja memberi judul tersebut untuk mempertegas keabsurdan tindakan kekerasan terhadap perempuan yang masih terus terjadi.
Karya-karya Yani memiliki keunikan, seperti penggunaan warna hitam putih dengan arang, gambar perempuan telanjang, pisau, pistol, bidang-bidang kosong, dan kepulan asap. Warna hitam putih menjadi simbol kecenderungan masyarakat untuk melihat segala sesuatu dalam dua dimensi hitam dan putih. Gambar perempuan telanjang mencerminkan kualitas yang sejati, karena pakaian hanya menjadi simbolis. Sementara itu, pisau dan pistol menjadi lambang alat yang digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan, memaksa mereka tunduk. Kepulan asap hitam putih menjadi gambaran ketidakpastian dalam kehidupan perempuan di masyarakat kita.
Sejak kecil, Yani telah menunjukkan jiwa pemberontak. Anak sulung dari tujuh bersaudara ini pernah bercita-cita menjadi nabi. Pada usia 14 tahun, dia meninggalkan rumah dan keluarganya, menjelajahi kehidupan yang penuh petualangan. Di perjalanan, dia menyaksikan penderitaan kaum perempuan yang tak tertahankan. Pengalaman pahit ini, bersama dengan pendidikan dan kecintaannya pada filsafat, puisi, sastra, dan sejarah, membentuk sikap perlawanan Yani terhadap realitas sosial perempuan. Semangat perlawanan ini kemudian dia tuangkan dalam karya-karyanya yang penuh makna.
Yani menempuh pendidikan seni di ITB, kemudian melanjutkan studinya ke Paddington Art School Sidney, Australia dan Academie voor Beeldende Kunst, Belanda. Dia juga menghabiskan satu setengah tahun di Thailand sambil menggelar pameran seni.
Bagi Yani, seni bukan sekadar alat untuk menuangkan keindahan. Karyanya merupakan perpaduan berbagai media seperti lukisan, gambar, fotografi, video, dan bahkan melibatkan disiplin lain seperti musik, tari, dan teater.
Yani sering menggunakan simbol-simbol dalam karyanya untuk memperkuat kritiknya terhadap isu-isu seperti monopoli modal, kemiskinan, dan diskriminasi yang diakibatkan oleh norma-norma dalam tradisi dan agama.
Arahmaiani, seorang perupa wanita, diakui sebagai sosok istimewa di kalangan pengamat seni. Ia dikenal sebagai salah satu dari sedikit perempuan yang berani menyuarakan pendapat berbeda dan menantang melalui karya seni, tulisan, dan pernyataannya (Marianto, 1998).
Karyanya merupakan manifestasi pemikirannya, yang menekankan pentingnya keseimbangan antara dua elemen yang berlawanan, seperti lemah dan kuat, feminin dan maskulin, roh dan materi. Namun, dalam banyak karyanya, energi maskulin tampak lebih dominan, menciptakan ketidakseimbangan yang mencolok. Salah satu elemen menindas yang lain, sehingga hubungan harmonis dan saling mendukung menjadi tidak sehat.
Kondisi ini membuat Arahmaiani gelisah, dan keresahannya terpancar dalam karyanya yang dipamerkan di Galeri Milenium pada bulan Mei 1999. Pameran tersebut sarat dengan nilai-nilai politik, mengekspresikan kegelisahannya terhadap ketidakseimbangan antara kredo-kredonya dengan realitas kekerasan terhadap perempuan, terutama peristiwa kerusuhan 14 Mei 1998 yang menjadi inspirasinya.
Arahmaiani telah menyelenggarakan beberapa pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, ia menggelar pameran tunggal bertema "Seks, Agama, dan Coca Cola". Di luar negeri, ia berpartisipasi dalam pameran bersama seniman dari Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand dengan tema "Women Imaging Women" di Manila.
Gadis sederhana yang suka memberikan kejutan ini kini tinggal di sebuah kamar kontrakan sederhana di Jakarta Pusat. Ia meninggalkan kenyamanan untuk hidup di tengah orang-orang yang menghadapi ketidaksetaraan ekonomi dan berbagai masalah lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menjalankan berbagai pekerjaan seperti memotong rambut, mendesain kaos, dan menerjunkan diri ke berbagai kegiatan. Satu hal yang selalu menjadi tujuan hidupnya adalah "menginginkan hidupnya bermanfaat bagi banyak orang, hidup yang memberi, karena esensi kreativitas adalah memberi."
Baca Berita Riau Hari Ini setiap hari di Channel Cekricek.id.