Cekricek.id, - Ini adalah 5 suku asli Riau dan fakta-fakta kekinian yang wajib kamu ketahui. Provinsi Riau memiliki wilayah yang cukup luas, termasuk daerah pedalaman yang tersebar di masing-masing kabupaten/kota. Di daerah pedalaman ini, hidup suku-suku pedalaman yang biasa disebut dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT ini hidup di sejumlah wilayah hutan di Provinsi Riau.
Menurut penelitian Kurtubi (2017), KAT di Riau terdiri dari 5 suku, yaitu Suku Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, Suku Bonai, dan Suku Laut (Duano).
Berikut adalah 5 suku asli Riau dan karakteristik masing-masing suku:
1. Suku Sakai
Suku asli Riau yang pertama adalah Suku Sakai. Asal kata "Sakai" hingga kini belum diketahui secara pasti. Ada yang berpendapat kata tersebut berasal dari nama pohon yang banyak tumbuh di Kecamatan Mandau, yaitu pohon "Sikai". Ada pula yang berpendapat kata tersebut berasal dari nama sungai, yaitu Sungai Sikai.
Menurut keterangan para tetua Sakai, nama "Sakai" baru ada sejak zaman penjajahan Jepang. Sebelum itu, Suku Sakai dikenal dengan nama "Uang Daek" (orang darat) atau suku "Pebatin". Istilah "Sakai" pada awalnya dipakai oleh tentara Jepang untuk membedakan masyarakat biasa dengan para tentara pejuang. Jepang menyebut rakyat biasa yang bukan pejuang dengan sebutan "sakai".
Akhirnya, nama tersebut melekat pada diri mereka sampai sekarang. Sebutan "Uang Daek" atau "Suku Pebatin" lama kelamaan menjadi hilang. Kini, mereka dikenal dengan nama Suku Sakai.
Kebudayaan Suku Sakai
Suku Sakai memiliki kebudayaan asli sendiri yang berbeda dengan suku bangsa Melayu lainnya di Riau. Orang Sakai yang kita temui di Riau adalah Sakai dengan kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainnya.
Menurut catatan naskah, sebelum terbentuknya kebudayaan sekarang dalam satu dasawarsa terakhir, mereka selalu hidup menyendiri di dalam hutan belantara "Batin Selapan" yang sukar dicapai oleh orang luar. Hanya segelintir orang Melayu yang berkunjung ke tempat tersebut.
Hak Ulayat Suku Sakai
Sebagai ras veddoid asli, wilayah hukum adat Perbatinan Sakai telah lama diakui jauh sebelum kemaharajaan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Oleh karena itu, dalam budaya Sakai mereka mengenal "Hak Ulayat" (Beschikkingsrech) yang kekuasaannya berada di tangan persekutuan hukum komunitas Sakai.
Namun, keberadaan Suku Sakai telah terdesak oleh kebudayaan Melayu Siak, Rokan, dan Tapung hingga sekarang. Hal ini ditambah dengan berbagai kepentingan pembangunan (pertambangan, kehutanan, dan perkebunan) yang semakin memudarnya eksistensi Hak Ulayat Suku Sakai.
Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Di jantung hutan Sumatera, Suku Sakai yang asli menganut sistem kekerabatan "matrilineal", seperti juga saudara mereka di Minangkabau. Artinya, garis keturunan ditarik berdasarkan kaum perempuan. Kedudukan wanita dalam Suku Sakai pun sangat terhormat. Seluruh harta kekayaan, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, menjadi milik mereka. Bahkan, jabatan Kepala Suku diwariskan melalui garis silsilah perempuan. Anak-anak secara otomatis terhitung dalam keluarga ibunya, bukan keluarga ayahnya.
Tradisi warisan Suku Sakai juga unik. Jika seorang istri meninggal, harta warisan dibagi tiga: sepertiga untuk suami, sepertiga untuk keluarga istri, dan sepertiga "dibawa ke kubur" (artinya mungkin berupa benda tertentu yang dikuburkan bersama jasad). Namun, bila sang suami yang meninggal, seluruh harta perkawinan dibagi rata antara istri dan keluarga suami. Menariknya, praktik poligami dan poliandri tidak ditemukan dalam budaya Suku Sakai. Bagi mereka, kesetiaan dalam pernikahan dijunjung tinggi.
Seiring berjalannya waktu, pengaruh budaya Melayu dan ajaran Islam selama berabad-abad turut mengubah sistem kekerabatan Suku Sakai. Saat ini, masyarakat Sakai menganut sistem "bilineal", yakni gabungan antara matrilineal dan patrilineal. Beberapa contoh perubahannya adalah dilarangnya pernikahan dengan sanak saudara dari pihak ibu maupun ayah, serta pergeseran peran Kepala Suku dan paman dalam urusan pernikahan yang kini diambil alih oleh ayah kandung. Dalam pembagian warisan pun berlaku Hukum Islam, yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan.
Politik dan Kepemimpinan
Sistem kepemimpinan tradisional suku Sakai disebut sistem perbatinan. Sistem ini mirip dengan sistem kepemimpinan kepala suku atau penghulu dalam budaya Melayu. Sistem perbatinan suku Sakai terdiri dari dua kelompok, yaitu Batin Selapan dan Batin Limo. Kedua kelompok ini menempati beberapa wilayah di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.
Menurut informasi yang diperoleh, asal usul sistem perbatinan suku Sakai adalah dari 13 keluarga yang membuat banjar panjang di kawasan hutan Mandau. Batin Selapan terdiri dari Batin Bombam Petani, Batin Sebangar Sungai Jeneh, Batin Betuah, Batin Bumbung, Batin Sembunai, Batin Jalelo, Batin Beringin, dan Batin Bomban Seri Pauh. Batin Limo terdiri dari Batin Tengganau, Batin Beromban Minas, Batin Belitu, Batin Singameraja, dan Batin Meraso.
Masing-masing kelompok kerabat dalam sistem perbatinan suku Sakai memiliki induk. Batin Selapan induknya adalah Batin Jalelo, dan Batin Limo induknya adalah Batin Tengganau.
Mata pencaharian utama Suku Sakai adalah bertani dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka sangat bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mayoritas Suku Sakai tidak memiliki pekerjaan tetap.
Ekonomi
Mata pencaharian utama Suku Sakai adalah bertani dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka sangat bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mayoritas Suku Sakai tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka biasanya bekerja serabutan dan musiman, yang mereka sebut "mocok-mocok". Artinya, mereka akan bekerja jika ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang.
Sebaliknya, jika tidak ada pekerjaan, mereka akan menganggur. Mata pencaharian lain Suku Sakai adalah berkebun. Mereka menanam ubi lambau dan ubi menggalau secara sub sistem. Mereka juga menangkap ikan, tetapi kebanyakan untuk konsumsi sendiri.
2. Suku Akit
Suku asli Riau yang kedua adalah Akit. Sejarah Suku Akit tak lepas dari ikatan dengan Suku Laut. Seperti halnya Suku Melayu Riau dan berbagai suku bangsa lain di Indonesia, nenek moyang mereka berasal dari percampuran ras yang menyebar dari berbagai penjuru dunia.
Jejak kehadiran Suku Akit di Pulau Rupat, khususnya Desa Titi Akar, konon berawal dari era Kerajaan Siak Sri Indrapura, sekitar abad ke-17. Kala itu, atas permintaan Sultan Siak, mereka mengungsi dari Sungai Siak dan menuju Pulau Padang yang terpisahkan oleh selat. Namun, rasa tak aman masih menggelayuti mereka. Akhirnya, mereka berlayar ke utara hingga ke barat, dan berlabuh di wilayah Datuk Empang Kelapahan.
Kedatangan mereka disambut baik, namun dengan syarat unik: sekerat mata beras, sekerat tamping sagu, dan sebatang dayung emas. Merasa berat memenuhi permintaan itu, Suku Akit berunding dan memutuskan untuk hijrah lagi ke Pulau Tujuh.
Kebudayaan Suku Akit
Suku Akit yang bermukim di Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, menganut berbagai agama, yaitu Islam, Kristen, Budha, dan animisme. Agama dan kepercayaan bagi mereka merupakan warisan leluhur yang harus dipertahankan.
Suku Akit sudah lama menganut agama Budha, sesuai dengan sejarah dan legenda yang berkembang dalam masyarakat. Namun, pelaksanaan ritual agama mereka saat ini dipengaruhi oleh kebudayaan etnis Cina. Selain itu, mereka juga masih melakukan ritual-ritual animisme, seperti mantera-mantera dan pemujaan terhadap para leluhur.
Salah satu contoh ritual animisme Suku Akit adalah upacara pemujaan pohon yang dianggap keramat (ketau). Dalam upacara ini, mereka memberikan sesajen kepada pohon tersebut.
Mata Pencaharian Suki Akit
Mata pencaharian utama masyarakat Suku Akit adalah sektor pertanian, perladangan, dan peternakan. Selain itu, mereka juga memiliki industri rumah tangga, seperti pembuatan tikar dari daun rumbia.
Di sektor perladangan, masyarakat Suku Akit umumnya menanam padi dengan rata-rata kepemilikan ladang antara 1 hingga 4 jalur. Hasil panen padi tersebut biasanya dikonsumsi sendiri, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka hingga musim panen berikutnya. Oleh karena itu, mereka harus membeli beras hingga musim panen berikutnya.
Kondisi Sosial Suku Akit
Ciri masyarakat Suku Akit yang mudah beradaptasi dengan masyarakat sekitarnya merupakan modal utama dalam mengembangkan kehidupan mereka. Sistem kekerabatan yang longgar turut mendukung adaptasi mereka, terutama dalam bidang perekonomian.
Di Desa Titi Akar, tidak ada pranata sosial yang mengatur hubungan antarwarga. Namun, mereka memiliki nilai gotong royong dan kerjasama yang tinggi, terlepas dari perbedaan etnis dan kepercayaan. Hal ini terlihat dalam berbagai aktivitas mereka, seperti pengelolaan hasil alam.
Ketentuan kepemilikan lahan di Desa Titi Akar tidak mengenal tanah ulayat, melainkan tanah milik pribadi. Hak kepemilikan lahan dapat diperoleh dengan cara membuka hutan, menerima pemberian/warisan, atau membeli. Warga yang membuka lahan secara luas dianggap memiliki kekuasaan besar atas tanah tersebut.
3. Suku Talang Mamak
Suku asli Riau yang ketiga adalah suku Talang Mamak. Menurut orang-orang Talang Mamak, mereka adalah keturunan Datuk Patih Nan Sebatang, seorang tokoh dari Minangkabau yang datang ke Indragiri melalui Sungai Kuantan dengan mitos Rakit Kulim. Setelah mendirikan pemukiman baru di Indragiri, Datuk Patih Nan Sebatang yang dipanggil Mamak oleh kemenakannya, kemudian disebut sebagai "Talang Mamak" atau tempat tinggal mamak.
Menurut keturunan Patih Bunga, anak Datuk Patih Nan Sebatang, leluhur orang Talang Mamak adalah Talang Parit. Di sana, Datuk Patih Nan Sebatang memiliki tiga orang anak, yaitu Tuah Besi, Tuah Kelopak, dan Tuah Bunga. Ketiganya kemudian membuka kampung (talang) dan menjadi Patih di masing-masing talang. Tuah Besi menjadi Patih di Talang Parit, Tuah Kelopak mendirikan Talang Perigi, dan Tuah Bunga mendirikan Talang Durian Cacar.
Setelah generasi ketiga, kepemimpinan tidak lagi diwariskan kepada anak, melainkan kepada keponakan. Oleh karena itu, gelar tertinggi pemimpin tidak lagi Patih, melainkan Batin.
Kemudian, wilayah Talang Mamak berkembang. Kampung Talang Parit dimekarkan menjadi dua, yaitu Talang Parit dan Talang Sungai Limau. Talang Durian Cacar dibagi tiga, yaitu Talang Selantai, Talang Tujuh Anak Tangga, dan Talang Durian Cacar.
Dengan demikian, satu talang telah berkembang menjadi enam talang. Menurut versi orang Talang yang berada di Desa Siambul, leluhur mereka berasal dari Talang Sungai Limau. Luhur Talang 1 mendirikan perkampungan di Sungai Limau, kemudian menyebar ke arah selatan (Siambul) yang masuk Kecamatan Siberida dan ke arah timur dengan nama Talang Gerinjing.
Di daerah Siambul, orang-orang Talang Mamak bertemu dengan orang-orang pendatang dari Siam (Thailand). Mereka kemudian hidup bersama. Untuk mengenal orang-orang Siam, pemukiman mereka dinamakan Siambul/Talang Siambul.
Kebudayaan Suku Talang Mamak
Masyarakat Talang Mamak pada dasarnya menganut agama Islam, namun dalam praktik sehari-hari mereka lebih banyak mengikuti ajaran leluhur. Adat dan kebiasaan tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Akhir-akhir ini, sebagian warga Talang Mamak mulai menyadari hal ini dan menyatakan diri sebagai pemeluk Islam yang taat. Mereka ingin menyamakan diri dengan masyarakat Melayu. Namun, sebagian besar warga Talang Mamak masih mengikuti Langkah Lama, yaitu ajaran leluhur mereka.
Orang Langkah Baru adalah orang yang sering berinteraksi dengan orang luar dan umumnya memiliki anak yang berpendidikan lebih tinggi. Kematian bagi orang Talang Mamak adalah sesuatu yang sakral.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Talang Perigi adalah berkebun karet dan berladang padi. Masa panen padi adalah 6 bulan sekali. Sistem teknologi budidaya padi masih sederhana, sehingga hasil panennya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat hingga musim panen berikutnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya hama pengganggu, seperti babi hutan, burung, dan monyet, serta kurangnya pemeliharaan.
Selain karet dan padi, masyarakat Desa Talang Perigi juga menanam tanaman pekarangan, seperti kelapa, rambutan, sayuran, dan buah-buahan lainnya. Mereka juga berburu, meramu hasil hutan untuk obat-obatan, dan menangkap ikan sungai untuk menambah penghasilan.
Kepemilikan Tanah Suku Talang Mamak
Tanah adalah kekayaan bagi masyarakat Talang Perigi, baik yang didapat secara turun temurun maupun yang dibuka sendiri. Meski sudah mengenal tempat tinggal dan berkebun tetap, masyarakat Talang Perigi masih berladang secara berpindah-pindah dengan siklus lima tahunan.
Kebun masyarakat Talang Perigi umumnya ditanami berbagai jenis pohon, seperti karet, kelapa, dan buah-buahan. Hanya sekitar 5% masyarakat yang tidak memiliki lahan.
Kepemilikan lahan rata-rata per kepala keluarga adalah 7 hektar, dengan kisaran antara 2 hingga 10 hektar.
Lembaga Kepemimpinan
Sistem kepemimpinan di desa Talang Mamak, Talang Perigi, menempatkan batin sebagai pucuk pimpinan adat. Hal ini tercermin dalam pepatah yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya, yaitu:
“Sebuah Nagari seorang Hatinya“
“Sebuah Banjar seorang Tuanya“
“Sebuah Rumah seorang Tungganainya“
Budaya Pengobatan
Di desa Talang Perigi, pengobatan biasanya dipercayakan kepada dukun atau kemantan. Di desa tersebut terdapat 2 orang kemantan, 3 orang dukun, dan 4 orang dukun beranak.
Dukun dan kemantan memiliki sistem pengobatan yang berbeda. Kemantan melakukan pengobatan dengan upacara bulian, sedangkan dukun melakukan pengobatan dengan upacara berdukun.
Upacara bulian dibantu oleh beberapa orang wanita yang disebut "pinai" dan "kebayau". Mereka mengiringi perilaku kemantan selama upacara berlangsung.
Dukun sunat juga dikenal dalam masyarakat desa Talang Perigi. Mereka disebut "orang pandai" untuk penyunatan anak laki-laki, dan "bidan" untuk penyunatan terhadap wanita.
4. Suku Bonai
Suku asli Riau yang keempat adalah suku Bonai. Asal kata "Bonai" hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, dalam masyarakat Suku Bonai berkembang dua versi tentang asal usul mereka.
Versi pertama menyebutkan bahwa nenek moyang Suku Bonai berasal dari Borneo (Kalimantan). Mereka menyusuri muara Sungai Rokan ke arah hulu, hingga sampai di tempat pemukiman mereka sekarang. Menurut sejarah, nenek moyang Suku Bonai dipimpin oleh dua orang bersaudara, yaitu Sultan Janggut dan Sultan Harimau. Sultan Janggut menjadi cikal bakal orang Sakai di bagian hilir Sungai Rokan, sedangkan Sultan Harimau menjadi cikal bakal Suku Bonai.
Menurut cerita singkat, setelah bertemu di antara Sungai Rokan Kiri dan Sungai Rokan Kanan (Kuala Sako), kedua beradik tersebut berpisah mencari pemukiman masing-masing. Sultan Janggut menyusuri Sungai Rokan Kanan, sedangkan Sultan Harimau menyusuri Sungai Rokan Kiri ke arah hulu.
Versi ini sulit diterima kebenarannya, karena secara geohistoris tidak ditemukan bukti-bukti tentang adanya migrasi orang Borneo atau Sulawesi ke wilayah pedalaman Sumatera. Bahkan, menurut Alimandan (P3-S, 1989), nama Sultan Harimau yang dipercayai sebagai nenek moyang Suku Bonai berasal dari Borneo (Kalimantan) yang jelas tidak ada harimaunya.
Versi kedua menyebutkan bahwa nenek moyang Suku Bonai berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Cerita ini cukup masuk akal dan mudah diterima jika dikaitkan dengan kebudayaan dan sistem kekerabatan yang ada pada Suku Bonai.
Bukti konkritnya adalah Suku Bonai mengenal sistem kekerabatan seperti orang Minangkabau. Mereka mengenal ninik mamak dan hubungan dengan pihak keluarga ibu sangat dekat (matrilineal). Selain itu, mereka juga mengenal suku-suku sebagai cerminan keluarga dan garis keturunannya.
Dari kedua versi di atas, sangat sulit untuk menyebutkan secara pasti dari mana asal usul Suku Bonai. Tidak ada bukti sejarah yang kuat menyebutkan mereka berasal dari salah satu versi tersebut. Namun, jika pendekatan sosial budaya yang dilakukan, maka kecenderungan kesimpulan lebih memberatkan asal usul mereka kepada Minangkabau, yaitu berasal dari Kerajaan Pagaruyung.
Kebudayaan Suku Bonai
Keluarga suku Bonai di dusun Bunga Tanjung merupakan keluarga besar (extended family). Sistem kekerabatan mereka merupakan perpaduan antara patrilineal dan matrilineal, atau biasa disebut bilineal. Dalam banyak aspek, hubungan kekerabatan yang berlaku adalah matrilineal. Hal ini disebabkan oleh interaksi mereka dengan masyarakat di sekitarnya.
Dalam suku Bonai, terdapat dua suku, yaitu Suku Monilang dan Suku Kandang Kopuh. Sedangkan dalam masyarakat Dusun Bunga Tanjung Desa Kasimang, terdapat tujuh suku, yaitu:
- Suku Melayu
- Suku Monilang
- Suku Anak Raja-Raja
- Suku Pungkuik
- Suku Kandang Kopuh
- Suku Kuti
- Suku Ampu
Dalam setiap suku, terdapat istilah Mamak Sako, yaitu adik atau kakak laki-laki dari ibu. Mamak Sako memiliki peran penting dalam kehidupan kemenakannya. Setiap suku juga memiliki ninik mamak, yaitu ayah dari ibu. Meskipun terdapat dua suku di Dusun Bunga Tanjung yang memiliki ninik mamak, Suku Bonai tidak merasa memiliki keterikatan langsung dengan mereka.
Kepemimpinan tradisional dalam komunitas Suku Bonai sudah semakin memudar. Mereka hanya mengakui keberadaan bomo, yaitu dukun. Dalam kesehariannya, masyarakat Suku Bonai memang hidup berdampingan dengan bomonya. Jika bomo pindah rumah ke pemukiman lain, sebagian besar masyarakat Suku Bonai akan mengikutinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan hidup, dan intensitas interaksi dengan masyarakat Dusun Bunga Tanjung Desa Kasimang, Suku Bonai semakin terbuka terhadap hal-hal baru. Terlebih lagi ketika program Inpres Desa Tertinggal (IDT) masuk pada tahun 1996, mereka memperoleh bibit jeruk dengan persetujuan kelompok yang dibentuk oleh masyarakat Dusun Bunga Tanjung Desa Kesimang.
Agama Suku Bonai
Komunitas Adat Terpencil Suku Bonai di Dusun Bunga Tanjung, Desa Kesimang, kini memeluk agama Islam. Seperti masyarakat adat terpencil lainnya, mereka awalnya menganut animisme. Islam masuk pada fase kedua awal 1930-an, dibawa oleh para kholifah dari Basilam, Sumatera Utara.
Pada awalnya, Dusun Bunga Tanjung merupakan kota raja bernama Rantau Binuang. Konon, di tempat ini Syech Abdul Wahab Rokan pernah tinggal dan mengajar agama Islam di atas pohon binuang.
Komunitas Adat Terpencil Suku Bonai telah mengenal Islam sejak zaman kerajaan dan menyatakan memeluknya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Suku Bonai masih menjalankan praktik-praktik animisme, seperti pengobatan tradisional oleh bomo dan pemujaan terhadap roh-roh penunggu hutan. Syariat Islam belum sepenuhnya dilaksanakan oleh mereka karena syiar Islam belum intensif dan pembangunan bidang keagamaan belum menyentuh mereka.
Perekonomian Masyarakat Suku Bonai
Sumber mata pencaharian utama masyarakat Suku Bonai adalah nelayan. Mereka menangkap ikan di sepanjang Sungai Rokan Kanan. Teknologi yang mereka gunakan masih tradisional, seperti siapang (tombak mata tiga), kayo (pancing yang dipasang malam hari dan diambil pagi hari), lukah, dan jaring.
Hasil tangkapan ikan mereka sebagian besar digunakan untuk konsumsi sendiri, dan sebagian kecil dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain dari sektor perikanan, mereka juga bertani dan mengumpulkan hasil hutan. Pertanian mereka dilakukan secara subsisten, yaitu menanam tanaman seperti ubi, jeruk, dan tanaman muda lainnya tanpa perawatan khusus.
5. Suku Laut atau Suku Duano
Suku asli Riau yang kelima adalah Suku Laut atau Suku Duano. Provinsi Riau memiliki ciri khas yang berbeda dari provinsi lain. Ciri khas tersebut meliputi geografis dan kondisi pulau yang terpisah-pisah, serta jumlah komunitas terpencil yang paling banyak dibandingkan dengan daerah lain. Beberapa komunitas terpencil yang ada di Riau antara lain Suku Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu, Suku Sakai di Kembang Luar, Kabupaten Bengkalis, Suku Akit di Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Suku Bonai, dan Suku Kuala (Duano) di Kabupaten Indragiri Hilir.
Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Riau menghadapi berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, ketertinggalan, dan lokasi yang sulit dijangkau. KAT umumnya hidup di pedalaman, perairan, pulau-pulau, daerah perbatasan, atau kawasan industri.
Suku Kuala merupakan salah satu KAT yang ada di Riau. Suku ini berasal dari Suku Laut, yang merupakan suku asli Melayu Riau. Suku Kuala terbentuk dari perpaduan ras Vedda dan Asia Mongoloid.
Gelombang migrasi pertama ras Mongoloid ke Indonesia terjadi sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ras ini berasal dari Asia Tengah dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Gelombang migrasi kedua ras Mongoloid terjadi sekitar 1500 SM. Ras ini berasal dari Asia Tenggara dan membawa kebudayaan baru ke Indonesia.
Kedatangan ras Mongoloid kedua menyebabkan ras Mongoloid pertama dan kedua menyingkir ke pedalaman. Ras Mongoloid pertama dan kedua kemudian berbaur dengan ras Vedda yang sudah terlebih dahulu ada di Indonesia. Perpaduan ketiga ras ini melahirkan suku-suku asli di Indonesia, termasuk Suku Kuala.
Menurut sejarah, suku-suku asli di Riau dahulunya merupakan bagian dari Kerajaan Melayu Riau. Kerajaan ini didirikan pada abad ke-17 oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Siak.
Kebudayaan Suku Laut (Duano) Riau
Pada zaman dahulu, Suku Laut (Duano) di Kuala Selat dipimpin oleh seorang Batin. Namun, saat ini, mereka mengenal sosok Bapak Wali sebagai pemimpin mereka, yaitu kepala desa.
Lembaga pemerintahan di Desa Kuala Selat masih perlu diperbaiki. Banyak warga yang belum memiliki KTP dan KK. Lembaga adat tidak ada, sehingga kepala desa dan sekretaris desa menjadi sosok yang paling berpengaruh.
Suku Duano, sebuah komunitas adat terpencil, dahulu menganut kepercayaan pada berhala-berhala. Namun, saat ini, mereka sudah tidak mengenal dan menggunakan mantera-mantera lagi karena agama Islam telah masuk ke desa.
Suku Duano mengikuti alur patrilineal, yaitu garis keturunan bapak. Hak waris turun pada anak-anaknya. Sistem gotong royong masih kuat, terlihat dari saling membantu saat ada acara sunatan dan perkawinan.
Kondisi Kesehatan
Kesehatan adalah upaya untuk membuat setiap orang hidup sehat sehingga hidupnya optimal. Di desa Kuala Selat, hanya ada 1 orang bidan di Pustu. Jumlah ini tidak memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Lingkungan perumahan di desa tersebut juga tidak terjamin kesehatannya karena berada di tepi pantai. Kadang-kadang, air laut masuk ke jalan dan rumah warga. Masih ada warga yang berobat ke dukun karena tidak mampu membayar biaya pengobatan ke rumah sakit.
Pendidikan
Pendidikan adalah aspek yang sangat penting. Pemerintah telah mewajibkan anak pada usia sekolah untuk bersekolah, sehingga pendidikan dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat. Namun, di Desa Kuala Selat masih terdapat anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena membantu orang tua mencari ikan. Bahkan, anak yang sudah bersekolah pun tidak menyelesaikan pendidikannya. Hal ini karena orang tua mereka tidak memahami pentingnya pendidikan. Akibatnya, banyak ibu dan bapak-bapak yang masih buta aksara.
Sarana Sekolah Dasar di Desa Kuala Selat sudah cukup memadai. Teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan alat atau media yang digunakan dalam pendidikan generasi penerus. Namun, Suku Laut yang ada di Desa Kuala Selat hanya memiliki keterampilan anyam-menenun dan pembuatan jaring.
Kondisi Sosial
Komunitas adat terpencil di Desa Kuala Selat memiliki potensi gotong royong yang tinggi. Ketika ada pesta pernikahan, mereka saling menyumbang materi, seperti beras, gula, telur, dan bumbu dapur. Walaupun jumlahnya tidak banyak, sumbangan ini tetap menunjukkan semangat gotong royong mereka.
Komunitas adat terpencil ini juga memiliki hubungan sosial dengan etnis lain. Karena posisi pemukiman mereka yang saling berdekatan, hubungan sosial mereka dengan nelayan dan para toke bersifat saling bergantung. Hasil tangkapan nelayan dikuasai oleh toke, yang kemudian dijual kembali.
Itulah 5 suku asli Riau dan fakta-fakta kekinian. Informasi ini dikutip dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (PRJMD) Provinsi Riau 2019-2024.
Dapatkan update Berita Riau Hari Ini setiap hari dari Cekricek.id. Ikuti kami melalui Google News. Klik tautan untuk terhubung.