Cekricek.id, Portal Islam - Ketika melakukan ibadah puasa pasti ada istilah Imsak tetapi hal tersebut terkadang masih menjadi kontroversi di masyarakat. Terutama pengertian insat secara adat serta syariat. Hal ini kemudian akan dibahas tuntas oleh Ustadz Adi Hidayat, dalam tayangan di channel YouTube pribadinya, mengutip pada Kamis (23/3/2023).
Terkadang masih banyaknya pro kontra yang ada di masyarakat berkaitan dengan arti Imsak itu sendiri. Contohnya ada dari netizen yang merasa jika saat Imsak berarti sudah memasuki puasa.
Maka dari itu tidak boleh lagi mengkonsumsi makanan apapun ketika imsak dibunyikan. Namun ada juga yang merasa jika Imsak hanyalah tanda akan segera masuk puasa dengan artian masih boleh makan atau minum.
Dijelaskan oleh Ustadz Adi Hidayat bahwasanya Imsak memiliki artian menahan. Dengan kata lain puasa sendiri bisa diartikan Imsak alias menahan. Tetapi jika berdasarkan syariatnya sendiri Imsak alias puasa ini dimulai ketika Adzan berkumandang.
“Namun jika adzan masih belum berkumandang maka diartikan seseorang masih boleh mengkonsumsi sejumlah makanan serta minuman,” ucapnya.
Beda Syariat dan Adat

Secara adat itu sendiri masyarakat menggunakan sirine yang digunakan sebagai simbol alias pertanda Imsak. Hal tersebut mengandung artian jika tanda-tanda tersebut dibunyikan maka dengan itu masih boleh untuk makan alias sahur.
Hal ini sendiri karena dalam masyarakat sendiri adanya penamaan berbagai istilah yang terkadang kurang sesuai dalam penempatannya. Terutama karena adat yang ada di masyarakat.
Tetapi jika berbicara dari segi artian syariat tentu memiliki pandangan yang berbeda jauh. Karena Imsak sendiri merupakan awal atau pertanda puasa dimulai. Tetapi masyarakat cenderung mengartikan jika Imsak merupakan tanda-tanda akan masuknya atau mulainya puasa yang digunakan melewati sebuah tanda berupa sirine atau bel.
Baca Juga: Makan Pisang Saat Sahur Bisa Buat Kamu Kenyang Lebih Lama Lho
Tapi bukan berarti semua hal dalam Islam ini sendiri bisa dikategorikan atau disetarakan dengan pengertian adat. Karena secara syariat serta jika disandingkan dengan ada tentulah menimbulkan makna ganda contohnya bila berkaitan dengan iman atau taqwa.
Hal tersebut beserta cara menimbulkan adanya persepsi yang salah di masyarakat. Atau bahkan ketidaktepatan dalam makna atau tujuan yang hendak disampaikan. Maka dari itu tidak semuanya apa yang dalam syariat bisa diselenggarakan dengan adat.