Jakarta, Cekricek.id. - Peneliti internasional menemukan bahwa cabai, bahan masakan favorit masyarakat Indonesia, ternyata memiliki dua sisi berlawanan bagi kesehatan. Di satu sisi bermanfaat, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan risiko penyakit berbahaya bila dikonsumsi secara berlebihan.
Laporan dari Times of India mengungkapkan bahwa sejumlah riset baru-baru ini menyoroti kaitan antara konsumsi cabai dan peningkatan risiko kanker pada saluran cerna. Studi yang dimuat dalam jurnal Frontiers in Nutrition menyebut, hubungan tersebut sangat kompleks dan tergantung pada jumlah serta kebiasaan makan seseorang.
“Meskipun asupan cabai dalam porsi sedang dapat memberikan beberapa efek perlindungan pada tubuh karena sifat antioksidannya, tapi jika makan dalam jumlah berlebih dapat meningkatkan risiko kanker yang memengaruhi esofagus, lambung, dan usus besar,” tulis laporan itu.
Zat aktif utama dalam cabai adalah capsaicin, senyawa yang memberi sensasi pedas pada lidah. Selama ini capsaicin dikenal memiliki banyak manfaat mulai dari efek anti-inflamasi, membantu pembakaran lemak, hingga meredakan nyeri.
Namun, konsumsi cabai secara intens, terutama dalam bentuk mentah dan sangat pedas, dapat memicu peradangan kronis pada lambung dan usus. Dalam jangka panjang, peradangan tersebut bisa menyebabkan kerusakan sel dan meningkatkan risiko berkembangnya kanker.
Para ahli menegaskan bahwa efek cabai sangat tergantung pada kuantitas, frekuensi konsumsi, dan metode penyajiannya. Konsumsi berlebihan tanpa diimbangi dengan makanan bergizi seperti buah dan sayur bisa meningkatkan risiko penyakit pencernaan.
Sebaliknya, jika dikonsumsi dalam porsi sedang dan menjadi bagian dari pola makan seimbang, cabai tetap dapat memberikan manfaat kesehatan. Sifat antioksidan dan anti-inflamasi capsaicin justru mendukung metabolisme tubuh dan melindungi dari kerusakan sel akibat radikal bebas.
Cabai tetaplah bagian penting dari budaya kuliner Indonesia. Kuncinya adalah bijak dalam mengatur porsinya agar kenikmatan rasa pedas tetap bisa dinikmati tanpa mengorbankan kesehatan. (*)





















