Babad secara etimologis berasal dari bahasa Jawa yang berarti “buka, tebang, sejarah, riwayat,”. (Prawiroatmodjo, 1980: 2). Selaras dengan Mangunsuwito (2002: 303) babad juga dapat dimaknai sebagai “hikayat, sejarah, cerita tentang peristiwa yang sudah terjadi”. Babad merupakan salah satu jenis karya sastra Jawa yang digubah dalam rangka kehidupan masyarakat yang bersangkutan serta memiliki aspek historis (Rupadi, 2006: 23).
Dalam kenyataannya, babad sebagai hasil kebudayaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Penyebutan babad di Jawa sama dengan di Madura dan Bali, sedangkan di Sulawesi Selatan dan Sumatera disebut lontara dan di Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono dalam Sulastin Sutrisno dkk., 1991: 305). Sedangkan secara terminologis, babad merupakan karya sastra yang berkaitan atau yang menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan pembukaan hutan, penobatan penguasa daerah, pendiri kerajaan, pemindahan pusat kerajaan atau pemerintahan, peperangan, adat istiadat, bahkan sering terdapat jalinan perkawinan dan ikatan perkerabatan. (Darusuprapta, 1980: 5).
Babad menurut Rokhman (2014:11) berisi cerita sejarah, namun tidak selalu berdasarkan fakta. Teks babad isinya merupakan campuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Itulah sebabnya, babad sering disamakan dengan hikayat. Di tanah Melayu tulisan yang mirip dengan babad dikenal dengan sebutan tambo atau silsilah. Contoh Babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, Babad Surakarta dan Babad Ponorogo.
Menurut Firmanto (2015: 47-48), babad sebagai karya klasik merupakan karya tulis orisinal yang berupa naskah-naskah atau manuskrip asli tulisan tangan yang masih tersimpan di beberapa lembaga maupun perorangan, yang termasuk dalam karya tulis ini bukan merupakan suntingan atau edisi dari naskah aslinya. Babad pada umumnya tumbuh dan berkembang di lingkungan tertentu saja. Kebanyakan babad ditulis dilingkungan kraton, kadipaten dan tanah perdikan.
Kraton, sejak dulu hingga sekarang pada umumnya memiliki abdi dalem kapujanggan, yaitu hamba raja yang bekerja di bidang kepujanggaan. Tugasnya berkaitan dengan aktifitas tulis menulis, baik yang bersifat sastra maupun non sastra, seperti menggubah babad yang berisi semacam sejarah atau riwayat raja dan para pengikut istana. Pokok persoalan yang ditulis mengenai diri raja, para adipati, para bangsawan, kerabat dekat raja, para tokoh di tanah perdikan, beserta hal ikhwal yang bertalian dengan kehidupan dan peristiwa yang terjadi di tempat-tempat tersebut. Dengan demikian jelas bahwa bahwa babad mempunyai nilai sebagai pengesahan dan pengukuhan kepada penguasa-penguasa tersebut (Darusuprap-ta, 1975: 21).
Oleh karena itu, babad sebagai salah satu peninggalan tertulis merupakan naskah penting yang lebih banyak menyimpan informasi tentang masa lampau jika dibandingkan dengan peninggalan yang berwujud bangunan. Haryati Soebadio (1975: 1) menyatakan bahwa “naskah-naskah lama merupakan dokumen bangsa yang menarik bagi peneliti kebudayaan lama, karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan informasi yang lebih luas dibanding puing bangunan megah seperti candi, istana raja dan pemandian suci yang tidak dapat berbicara dengan sendirinya, tapi harus ditafsirkan”. (Rupadi, 2006: 3)
Babad dalam Historiografi Nusantara
Historiografi dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarah. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan bagian terakhir. Langkah terakhir, tetapi langkah terberat, karena di bidang ini letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi dirinya sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah. (Poespopronjo, 1987:1).
Pada umumnya tradisi penulisan sejarah di Indonesia berada dalam lingkungan keraton (istana sentris) dimana hasilnya dikenal dengan penulisan sejarah tradisional (historiografi tradisional). Dalam hal ini babad merupakan bagian dari historiografi tradisional. Historiografi tradisional bersifat etno sentris (kedaerahan), istana sentris (lingkungan keraton) dan magis religius (dilandasi unsur magis dan kepercayaan), makanya hasil historiografi tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula dalam bentuk sastra, babad, hikayat, kronik, dan lain-lain. Dalam historiografi tradisional tokoh sejarahnya sering dihubungkan dengan tokoh popular jaman dahulu bahkan dengan tokoh yang ada dalam mitos maupun legenda. hal ini di maksudkan untuk mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan, identitas dari tokoh tersebut serta untuk mendapatkan pulung (kharisma) yang diwariskan dari tokoh-tokoh sebelumnya.
Contoh dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa raja Mataram Islam pertama merupakan keturunan dari para nabi, tokoh wayang dalam Mahabharata, Iskandar agung dari Macedonia, raja-raja Jawa bahkan punya hubungan dengan Nyai Roro Kidul penguasa pantai selatan. Selain tradisi penulisan sejarah dalam lingkungan istana, tradisi penulisan sejarah juga berkembang di beberapa daerah atau wilayah tertentu sehingga melahirkan sejarah lokal yang kebanyakan muncul dari sumber-sumber teks babad. (Firmanto, 2015:37-38).
Secara teoritis dan metodologis babad memiliki kelemahan, terutama apabila dikaitkan dengan masalah temporal, spasial dan faktual. Akan tetapi, bagaimanapun juga, babad tetap bisa dipergunakan sebagai sumber sejarah, karena di dalamnya mengandung beberapa peristiwa yang dapat disebut sebagai peristiwa sejarah. Penggunaan babad sebagai sumber sejarah oleh sejarawan untuk dijadikan sumber pembanding. Dengan adanya sumber pembanding, terutama dari luar maka tidak mustahil beberapa peristiwa yang diceritakan dalam babad akan muncul sebagai fakta sejarah.
Sehingga sependapat dengan pandangan Ricklefs (2008) yang mengemukakan beberapa teks dalam babad dapat dijadikan sumber rujukan penulisan sejarah. Misalnya, Babad Pati yang ditulis oleh Ki Sosrosumarto dan Dibyosudiro pada tahun 1925 dan diterbitkan dalam tulisan Jawa oleh NV. Mardimulya. Babad Pati dijadikan sumber primer dalam memperoleh gambaran tentang perang tanding antara Adipati Jayakusuma melawan Panembahan Senopati. (Harianti dkk, 2007:10).
Purwanto (2006:98) juga menyatakan bahwa karya sastra termasuk babad telah menjadi bagian yang integral dengan sejarah sebagai sebuah tradisi. Sebagai sebuah tradisi, karya sastra mempunyai empat fungsi utama.
Pertama, sebagai alat dokumentasi, kedua sebagai media untuk mentransfer memori masa lalu antar generasi, ketiga sebagai alat untuk membangun legitimasi, dan keempat sebagai bentuk eskpresi intelektual. Sebagai sebuah karya tradisi, babad memuat realitas yang terbungkus dalam fantasi. Sehingga sejarawan perlu meningkatkan pemahaman metodologis dan pengetahuan substansi historis yang luas dan mendalam untuk dapat mengungkap realitas yang ada di dalamnya. (Harianti dkk, 2007:12-13).
Meskipun terdapat unsur-unsur sejarah dan sering kali digunakan sebagai sumber sejarah, Babad awalnya tidak dipandang sebagai karya sejarah melainkan sebagai karya sastra. Menurut I Wayan Sueta (1993:2), meskipun dalam babad terdapat unsur-unsur sejarah, namun babad tidaklah pertama-tama dapat dipandang sebagai karya sejarah, melainkan babad dapat merupakan suatu cerita yang dikarang oleh seorang pujangga atau pratisentana dari suatu klen yang mempunyai kemampuan untuk mengarang cerita baik yang berhubungan dengan suatu kelompok, kerajaan maupun jalannya pemerintahan.
Beberapa permasalahan dalam historiografi Nusantara khususnya di Indonesia sampai saat ini masih terus mengemuka, salah satunya adalah kurangnya sumber tertulis, khususnya masa abad XVI-XVIII. Padahal masa tersebut merupakan masa yang sangat penting dimana kerajaan-kerajaan Islam memainkan peranan yang signifikan. Untuk masa kerajaan Islam, sumber tertulis yang dapat ditemui masih terbatas pada historiografi tradisi seperti: babad, kronik, hasil kesusastraan, dan kitab-kitab sastra yang lain. (Harianti dkk, 2007:15).
Sumber sejarah yang berupa babad sampai saat ini masih belum banyak dimanfaatkan oleh para sejarawan. Mungkin karena secara teoritik dan metodologis babad memiliki banyak kekurangan, khususnya bila dikaitkan dengan persoalan temporal, faktual maupun spasial. Di samping itu, karena merupakan sebuah karya sastra, maka babad menggunakan bahasa sastra yang sukar dipahami oleh masyarakat awam. Babad Tanah Jawi misalnya, sampai saat ini masih belum dapat dipahami seluruhnya mengenai asal, maksud, bahan dan komponennya.
Bahkan Graaf (1985) menyebutkan bahwa Babad Tanah Jawi sebagai sebuah tulisan yang aneh. Ada dugaan bahwa babad tersebut ditulis oleh beberapa orang yang ditujukan untuk memperkuat legitimasi dari raja yang sedang berkuasa. Faktor isi yang kadang-kadang tidak dapat diterima dengan akal sehat, semakin menjauhkan perhatian sejarawan terhadap karya sastra ini. (Harianti dkk, 2007:16).
Terlepas dari semua kelemahan-kelemahan tersebut, sebenarnya babad juga mengandung beberapa fakta sejarah. Dalam hal ini Taufik Abdullah menyatakan bahwa melalui karya sastra termasuk babad kita dapat memahami prosesi peristiwa masa lalu dan menangkap kembali struktur waktu dari realitas. Lebih lanjut Taufik Abdullah menyatakan bahwa karya sastra merupakan pengalaman kolektif dari pengarang dan merefleksikan suasana waktu ketika karya itu diciptakan. (Purwanto, 2006: 90)
Sumber penulisan babad menggunakan rujukan tertulis atau lisan, seperti naskah lama, silsilah, nama tempat dan lain-lain, akibatnya banyak muncul unsur-unsur dalam babad yaitu mite, legende, simbolisme, hagiografi, sugesti dan sejenisnya.
Darusuprapta (1992:8) berpendapat bahwa unsur-unsur mite, legende, hagiografi, simbolisme dan sugesti dimaksudkan untuk menggerakkan cerita, dan memberikan bayangan hal-hal yang bakal terjadi, yang memberikan dukungan penuh kepada pelaku utama atau menjadi penunjang istimewa terhadap kejadian yang dilukiskan.
Mite yaitu cerita prosa yang benar- benar terjadi serta dianggap suci, misalnya silsilah raja-raja, nabi-nabi, tokoh-tokoh dalam wayang atau tokoh suci lainnya. Legende adalah lukisan tokoh manusia yang mempunyai keistimewaan berhubungan dengan makluk halus, bertalian dengan unsur- unsur tanah, air, udara dan api. Simbolisme berupa lambang-lambang, misalnya pusaka-pusaka bertuah, kata-kata kiasan, bilangan-bilangan keramat. Hagiografi yaitu lukisan kemukjijatan seseorang yang banyak diperlihatkan oleh tokoh keramat. Sugesti berupa ramalan, suara gaib, tabir mimpi dan pamali atau pantangan. (Rupadi, 2006:25)
Babad Sebagai Sumber Sejarah Islam Nusantara
Penulisan sejarah Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan teks babad sebagai salah satu sumber sejarah. Sebagaimana Islamisasi di tanah Jawa yang digerakkan oleh Wali Songo banyak diungkap dalam teks babad. Peran Wali Songo di pesisir utara Jawa dalam sumber babad telah banyak memberikan gambaran tentang kapan dan bagaimana Islam masuk ke tanah Jawa, termasuk tentang siapa dan bagaimana Islam disebarkan dan disemaikan di lingkungan masyarakat Jawa.
Babad Demak, Babad Gersik, Babad Majapahit, Babad Cirebon dan Babad Tanah Jawi, dalam berbagai versinya, merupakan sumber historiografi Islam Nusantara yang penting dalam memberikan gambaran kesejarahan proses interaksi antara Islam dan kebudayaan Jawa. Demikian juga halnya tentang interaksi dan reaksinya. Babad Demak, Babad Majapahit, Babad Jaka Tingkir.
Babad Pajang, Babad Cirebon, Babad Tanah Jawi dan beberapa serat, seperti Serat Sunan Bonang, Pitutur Seh Bari, Serat Siti Jenar, Serat Cabolek dan Serat Centhini banyak menggambarkan tentang dialog antara Islam dan tradisi budaya lokal. Mengenai kapan Islam masuk ke tanah Jawa, sumber-sumber Babad menceritakan bahwa komunitas Islam telah tumbuh di lingkungan kota pelabuhan Surabaya, Gresik dan Tuban sekalipun Kerajaan Hindu Majapahit masih berkuasa. Kota-kota pelabuhan Kerajaan Majapait itu sesungguhnya telah tumbuh sejak akhir abad ke-13 dan meningkat pada abad ke-15-16, serta telah memiliki jaringan pelayaran dan perdagangan dengan Pasai dan Malaka, serta daerah Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Sumber Babad juga menjelaskan bahwa penyebaran Islam dilakukan oleh para mubalig atau da’i yang terkenal dengan sebutan Wali yang dalam tradisi Jawa lebih dikenal sebagai “Wali Songo” (Wali Sembilan). Mereka yang banyak disebut dalam Babad antara lain ialah Sunan Ngampel-Denta, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Muria, Sunan Dradjat, Sunan Tembayat, Sunan Wali Lanang (Sunan Malik Ibrahim), dan Sunan Seh Siti Jenar. (Suryo, 2000:4)
Dalam sumber historiografi Jawa, baik dalam bentuk Babad maupun Serat istilah santri, kiai atau ulama telah lama dikenal, terutama dalam kaitan penggambaran proses masuknya Islam dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Selain itu, babad sebagai sumber lokal banyak memberikan gambaran tentang bagaimana orang Jawa memberikan penghargaan dan penghormatan tinggi kepada raja, guru atau kiai, di samping kepada orang tua atau orang yang dipandang tua, sebagai bagian dari pandangan budayanya. Ada pertanda bahwa pandangan ini merupakan kecenderungan umum yang berlaku dalam kebudayaan Asia.
Demikian pula kepercayaan tentang adanya kelebihan (karomah) dan barokah yang dimiliki oleh para wali, kiai, atau ulama banyak dijumpai dalam sumber-sumber lokal sejarah Jawa. Tidak mengherankan, apabila orang Jawa menempatkan kiai sebagai golongan pemimpin yang kharismatik, seperti halnya Ulama di lingkungan masyarakat Islam lainnya. (Suryo, 2000:5).
Sumbangsih Babad dalam Peradaban Islam Nusantara
Sumber-sumber babad menurut sejarawan Islam Agus Sunyoto (2016:193-199) telah mengungkapkan fakta sejarah yang menarik misalnya dalam Babad Ngampeldenta diungkap bahwa pengangkatan Raden Rahmat secara resmi sebagai Imam di Surabaya dengan gelar sunan dan kedudukan wali di Ngampeldenta dilakukan oleh Raja Majapahit.
Dengan demikian, Raden Rahmat lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ngampel. Begitu juga dalam Babad Tanah Jawi dituturkan bagaimana Raden Rahmat atau Sunan Ampel dalam upaya memperkuat kekerabatan untuk tujuan dakwah menikahkan Khalifah Usen (nama tempat di Rusia selatan dekat Samarkand) dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura.
Dari tilikan teks babad dapat diketahui salah satu hasil proses Islamisasi di Nusantara khususnya di Jawa yang cukup penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan santri ini bersama dengan unsur pesantren dan kiai telah menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa.
Selain itu, Islamisasi di Jawa juga telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi santri dan tradisi Kraton, sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa. (Suryo, 2000:1) Tradisi keagamaan santri terlihat dalam Babad Demak yang menggambarkan bagaimana Sunan Ampel sebagai guru memberikan ajaran esoteris kepada muridnya Raden Paku (Sunan Giri) yaitu ilmu tasawuf yang didasarkan pada ilmu kalbu sebagaimana dituturkan dalam kalimat berikut:
Jeng sinuhun angandika aris/ mengko raden sira ingsun wejang/ ilmu ingkang sayektine / den dhemit anggonipun/ para raden karepe iki/ ana lafadz kang endah/ dhemit enggonipun/ mengkana unining lafadz/ paran raden karepe puniki/ tegese bi nasrih_//
Raden Paku matur awot sari/ mangsa borong ing ngarsa sampeyan/ dereng dugi kula angger/ ing rahos kang punika/ Sunan Ampel ngandika aris/ bisa nara bisaha/ lah jawaben kulup/ raden paku atur sembah sigra jawab bi ru’yatil fuad/ punika atur kula//
Jeng sinuhun angandika malih/ fa innama tuwallau fatsamma wajhullah paran artine/ rahaden nembah atur/ kabiran alhamdulillah/ lan malih katsiran/ katur pukulun fa subhanallahi bukratan wa ashila inni wajjahtu puniki/ wajhiya mangga karsa//
Apan lafadz tunggale puniki// atur kula dhumateng sampeyan/ jeng sunan pangandikane/ ya bener raden iku/ idhepira dipun tubail/ den jeneng idhepira/ nembah ira iku/ raden cinandhak kang asta/ dipun wejang ilmu ingkang sidiq-sidiq ru’yah kang karu’yatan//
Berdasarkan Babad Demak diatas menurut penafsiran Sjamsudduha ajaran Sunan Ampel berangkat dari tiga kata: bi nasrih, tubadil, dan daim dengan kata kunci bi ru’yatil fuad. Ilmu yang diajarkan itu hanya bisa dipahami melalui mata hati atau mata batin. Inti ajarannya pada fa innama tuwallau fatsamma wajhullah. Kabiran alhamdulillah katsiran, fa subhanallahi bukratan wa ashila, inni wajjahtu wajhiya. (Sunyoto, 2016:200).
Dari teks-teks babad diatas memperlihatkan Islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri sebagaimana pernyataan Benda (1983:12-14) yang menyebutkan bahwa peradaban santri memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan agama, masyarakat dan politik. Sementara Geertz (1976) memandang kehadiran Islam di Jawa telah menjadikan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa yang disebut Santri, yang berbeda dari tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi.
Dari perspektif historis menunjukkan bahwa tradisi Santri secara berkelanjutan telah menjadi basis kekuatan sosial politik pada masa awal pendirian kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten di daerah pesisir utara Jawa dan pada masa kerajaan Mataram Islam di daerah pedalaman Jawa. (Suryo, 2000:2).
Menurut Suryo (2000:6) Ampeldenta atau Ampelkuning di Surabaya, yang terletak tidak jauh dari Gresik, sebagaimana disebut-sebut dalam Babad Demak dan Babad Majapahit dan Para Wali, merupakan komunitas Islam dan pesantren pertama, yang didirikan oleh Raden Rakhmat atau Sunan Ngampel. Pendirian pemukiman itu dilakukan atas ijin raja Majapahit Brawijaya. Demikian pula penyiaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Ngampel. Sekalipun Brawijaya sendiri belum mau masuk agama Islam, tetapi ia tidak melarang rakyat Majapahit masuk Islam dan berguru kepada Sunan Ngampel. Di dalam Babad Demak disebutkan sebagai berikut.
“Dyan Rahmat pinrenah mungging/ Ngampeldenta sengga katong/ Nenggya Sunan ing Ngampel jejulukipun/ Sang Nata wus Anglilani/ ngadekaken Jumungah wektu/ karseng narpa tan mangeni/ marang sagung kang ponang wong/ Kang asama Islam anut gama Rasul/ nging sang Nata dereng arsi/ tan winarna lamenipun/ kang dhedhukuh Ngampelgadhing/ tangkar-tumangkar wus argon_//.”
(Terjemahan bebas: “Raden Rakhmat diperintah oleh raja (Brawijaya) agar bermukim di Ampeldenta, yang kemudian bergelar Sunan Ngampel. Sang raja telah mengijinkan mendirikan Jamaah Sholat Jum’at dan raja juga tidak melarang terhadap setiap orang Islam untuk menjalankan perintah ajaran agamanya. Sekalipun demikian sang raja belum mau masuk Islam. Tidak lama desa Ngampelgading (Ampeldenta) berkembang menjadi pemukiman besar”). Seperti halnya Babad Demak, Babad Majapahit dan Para Wali, juga menceritakan hal yang sama seperti berikut di bawah ini.
“Kawarnaa Njeng Sunan Ngampelgading/ Wus lami nggennya dhedhukuh/ Sampun tengkar-tumangkar/ Langkung arja yata wau dhukuhipun/ Agemah dadi negara, Kathah ingkang sobat murid_//.”
(Terjemahan bebas:” diceritakan bahwa Kanjeng Sunan Ngampel, telah lama membangun pemukiman, lama-kelamaan penduduknya berkembang banyak, hidupnya makmur, dan tumbuh menjadi sebuah kota pesantren yang banyak dikunjungi oleh para santri dari jauh”).
Suryo (2000:6-7) juga menyatakan bahwa Pesantren Ampel Denta berkembang pesat tidak hanya menjadi tempat belajar para santri yang berasal dari daerah sekitarnya, termasuk keluarga raja Majapahit yang masuk Islam, tetapi juga tempat belajar para santri yang datang dari jauh, misalnya Raden Patah (putra Brawijaya dengan Putri Cina), sebelum menjadi Sultan Demak, dan bersama dengan adiknya Raden Husen yang datang dari Palembang (putra Aria Damar dengan putri Cina).
Para putra Sunan Ngampel sendiri juga menjadi santri di Ampeldenta, sebelum menjadi tokoh Wali dan pendiri pesantren di Giri, Tuban, Muria dan lainnya. Menurut Babad Demak, Sunan Ngampel menjadi salah satu induk kerabat Wali. Perkawinannya dengan Dyah Manila putri Arya Teja di Tuban, Sunan Ngampel menurunkan Sunan Bonang, Prabu Satmata atau Sunan Giri, Syeh Benthong atau Syeh Bondan yang kemudian menjadi Sunan Kudus, Syeh Maulana Iskak atau Sunan Muria, dan seorang putri yang menjadi istri Raden Patah, Sultan Demak.
Sunan Giri kemudian mendirikan Pesantren Giri, yang pada masa kemudian dapat menggantikan kedudukan pesantren Ampel Denta, setelah Sunan Ngampel wafat. Sunan Giri juga digambarkan tampil menjadi pemuka para Wali Sembilan dan Dewan Para Wali, selain menjadi pemimpin spiritual-keagamaan.
Karena itu perannya dalam proses Islamisasi di Jawa dan di luar Jawa cukup besar. Dalam hubungan ini, Babad memberikan petunjuk tentang adanya hubungan kekerabatan antara sesama para wali dan hubungan kekerabatan para wali dengan para elite kerajaan.
Sumber-sumber Babad juga telah memberikan rekaman yang tak ternilai dalam memberikan gambaran historis tentang proses Islamisasi di Jawa sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan Islam di Nusantara.
Sebagaimana dalam Babad Gresik dituturkan peran Pesantren Giri dalam proses Islamisasi cukup luas, tidak hanya terbatas di daerah pedalaman Jawa Timur, melainkan juga ke daerah Kalimantan Timur, Maluku, Lombok, dan Sumbawa sejalan dengan arus perdagangan di Nusantara. Sehingga Wiselius dan de Graaf menyebut Pesantren Giri sebagai “Kerajaan Ulama” atau “Geestelijke Heeren” yang didirikan pada tahun 1478.
Disebut demikian, karena kekuasaan para ulama di Giri ini hampir menyerupai kekuasaan raja yang memiliki istana (kraton atau kedaton), para pengikut, dan penjaga keamanan keraton. (Suryo: 2000: 7-8).
Hasil proses penyebaran Islam di Nusantara terutama di Jawa dari sumber-sumber babad juga telah melahirkan kreativitas intelektual di lingkungan pesantren di Pesisir Utara Jawa pada sekitar abad ke-16 sampai ke-17. Menurut Suryo (2000: 10) karya Babad dan Serat yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, dan dengan aksara Arab Pegon, merupakan ciri karya sastra Pesisiran.
Selain itu, cerita dalam karya sastra tersebut banyak yang mengambil tema tentang riwayat sekitar Nabi, Sahabat, dan para keluarganya serta para Wali di Jawa. Babad Ceribon, Babad Demak Pesisiran, Serat Yusuf, dan Serat Pertimah, merupakan contoh dari karya sastra Pesisiran, yang sampai sekitar 1950-an masih digemari sebagai bahan acara macapatan oleh sebagian masyarakat pedesaan di bekas Karesidenan Pekalongan.
Baca juga: Hukum Akikah dan Tradisi di Indonesia
Semuanya ditulis dengan aksara pegon dan dengan gaya bahasa Pesisiran. Ciri ini tidak ditemukan dalam karya sastra bentuk tembang di kraton pedalaman Jawa baik Surakarta dan Yogyakarta. (Arik Dwijayanto & Dawam Multazam).
---
Arik Dwijayanto & Dawam Multazam, Ensiklopedia Islam Nusantara, Kementerian Agama RI, 2018. Coutesey of Cekricek.id.