Penelitian terbaru mengungkap hubungan antara resistensi insulin, yang biasanya dikaitkan dengan diabetes tipe 2, dengan pertumbuhan sel kanker. Temuan ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana resistensi insulin dapat mempercepat penyebaran kanker.
Cekricek.id - Pada era 1920-an, aroma manis pada urin pasien kanker menjadi misteri bagi dokter. Namun, tak lama kemudian, mereka menyadari bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah. "Ini adalah salah satu hal pertama yang kami ketahui tentang pasien kanker," ungkap Associate Professor Lykke Sylow.
Aroma manis tersebut mengindikasikan bahwa kanker mempengaruhi kadar gula darah tubuh. Namun, bagaimana bisa? Sebuah penelitian terbaru siap menjawab pertanyaan tersebut.
Meskipun banyak penelitian sebelumnya yang telah mengeksplorasi hubungan antara kanker dan insulin, penelitian yang dilakukan oleh Lykke Sylow dan timnya ini menjadi yang pertama yang mengkompilasi penelitian terbaik mengenai topik tersebut.
Dalam temuannya, Sylow menjelaskan, "Pada pasien kanker, sel-sel tidak merespon dengan baik terhadap hormon insulin. Oleh karena itu, dibutuhkan insulin lebih banyak untuk menciptakan efek yang sama pada pasien kanker.
Jika Anda mengalami resistensi insulin, tubuh Anda harus memproduksi insulin lebih banyak dari biasanya untuk dapat mengatur gula darah."
Kemampuan tubuh untuk merespons insulin ternyata terganggu, baik pada pasien kanker maupun pada orang dengan diabetes tipe 2.
Gejala diabetes tipe 2 seperti kelelahan dan peningkatan rasa haus serta buang air kecil berkembang secara bertahap dan oleh karena itu sulit untuk dikenali. Pada pasien kanker, resistensi insulin bisa lebih sulit dikenali karena mereka sudah mengalami beberapa gejala ini, seperti kelelahan.
Dalam penelitian ini, para peneliti melakukan meta-analisis dari 15 studi tentang sensitivitas insulin dan kanker. Ini mencakup 187 pasien yang menderita berbagai jenis kanker, termasuk kanker paru-paru dan kolon, serta 154 subjek kontrol.
Mereka hanya memasukkan studi yang menggunakan standar emas, yaitu metode analisis sensitivitas insulin yang sangat akurat pada manusia.
Selain dampak negatif dari resistensi insulin, kondisi ini juga dapat menyebabkan sel kanker berkembang biak. "Kami tahu dari studi sel, studi hewan, dan beberapa studi manusia bahwa insulin adalah hormon pertumbuhan dan memiliki efek yang sama pada sel kanker. Artinya, kadar insulin yang tinggi dapat membuat sel kanker tumbuh lebih cepat," kata penulis utama kedua dari studi tersebut, Joan Màrmol.
Lebih lanjut, resistensi insulin dapat mempengaruhi akumulasi protein di otot. Jika tubuh gagal merespon insulin, akan kehilangan massa otot dan kekuatan, dan ini menjadi masalah besar bagi banyak pasien kanker.
Kanker dan resistensi insulin adalah kombinasi yang sangat buruk. Sylow berharap para ahli onkologi akan mulai memeriksa kadar gula darah pasien - bahkan ketika tampak normal, karena resistensi insulin bisa sulit dikenali saat tubuh hanya mengkompensasi dengan memproduksi lebih banyak insulin.
Jika ditemukan bahwa pasien menderita resistensi insulin, mereka perlu mulai mengobatinya. "Kami dapat mengobati resistensi insulin karena kami memiliki pengetahuan mendalam tentang kondisi ini - kami hanya biasa mengaitkannya dengan diabetes tipe 2," kata Sylow.
Namun, aspek-aspek dari hubungan ini memerlukan lebih banyak penelitian. "Langkah selanjutnya adalah mencoba menentukan siapa yang mengembangkan resistensi insulin. Pasien kanker jenis apa yang berisiko di sini? Apakah mereka memiliki jenis kanker tertentu atau faktor risiko tertentu? Atau mungkin berkaitan dengan pengobatan?" tambah Sylow.
Setelah mengidentifikasi mereka yang berisiko tinggi mengembangkan kondisi ini, Sylow berharap akan ada lebih banyak studi jangka panjang tentang pengobatan resistensi insulin dan apakah memiliki efek positif pada pasien.
Referensi: “Insulin resistance in patients with cancer: a systematic review and meta-analysis” oleh Joan M. Màrmol, Michala Carlsson, Steffen H. Raun, Mia K. Grand, Jonas Sørensen, Louise Lang Lehrskov, Erik A. Richter dan Ole Norgaard, 12 April 2023, Acta Oncologica.