Mengapa Orang Melayu Medan Tidak Menganggap Melayu Malaysia Sebagai Saudara?

Mengapa Orang Melayu Medan Tidak Menganggap Melayu Malaysia Sebagai Saudara?

Ilustrasi. [Foto: Dibuat dan dihasilkan dengan AI]

Penelitian terbaru dari Universiti Sains Malaysia mengungkap fenomena mengejutkan: orang Melayu di Medan, Sumatera Utara tidak menganggap saudara serumpun mereka di Malaysia sebagai bagian dari kelompok yang sama. Temuan ini menantang pemahaman konvensional tentang persatuan rumpun Melayu di Asia Tenggara.

---

Cekricek.id - Selama berabad-abad, Melayu dipahami sebagai satu kesatuan budaya yang membentang dari Semenanjung Malaya hingga kepulauan Nusantara. Namun riset yang dipublikasikan dalam Quantum Journal of Social Sciences and Humanities ini menunjukkan realitas yang lebih kompleks di lapangan.

Studi yang melibatkan delapan responden orang Melayu di Medan ini menggunakan pendekatan diskusi kelompok fokus dengan kerangka Teori Identiti Sosial. Hasilnya mengejutkan: meski mengakui kesamaan sejarah dan budaya, mayoritas responden tidak mengategorikan Melayu Malaysia sebagai kelompok mereka sendiri (in-group).

Bagaimana Orang Melayu Medan Mendefinisikan Diri Mereka?

Berbeda dengan Melayu di negara lain, orang Melayu di Medan mengidentifikasi diri mereka melalui empat cara utama yang sangat spesifik geografis.

Pertama, mereka mengelompokkan diri berdasarkan daerah asal dengan sebutan seperti "Melayu Batubara," "Melayu Langkat," "Melayu Deli," dan "Melayu Serdang." Sistem penamaan ini mirip dengan pembagian regional di Malaysia seperti Melayu Johor atau Melayu Kelantan.

Kedua, identifikasi melalui dialek bahasa Melayu yang berbeda-beda menurut wilayah. Salah satu responden menjelaskan, "Di Batubara banyak guna huruf O. Contohnya seperti di Patani Thailand yang juga Melayu. 'Ndak no?' 'Ndak ke mano?' Mirip dengan Patani. Kalau di Deli... 'hendak ke mane?' Itu lebih mirip dengan Malaysia."

Ketiga, melalui partisipasi aktif dalam berbagai persatuan Melayu. Organisasi seperti Ikatan Sarjana Melayu Indonesia, Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia, hingga kelompok yang lebih terbuka seperti Hang Tuah Indonesia menjadi wadah mempertahankan identitas.

Keempat, pelestarian adat istiadat yang diturunkan secara turun-temurun dari berbagai kesultanan Melayu di Sumatera Utara.

Tantangan Eksistensial yang Mengancam

Namun di balik semangat mempertahankan identitas ini, orang Melayu di Medan menghadapi tantangan eksistensial yang serius. Penelitian mengidentifikasi dua peristiwa besar yang mengubah lanskap demografis dan budaya mereka.

Peristiwa pertama adalah perang kemerdekaan Indonesia yang menewaskan banyak cendekiawan Melayu, termasuk tokoh terkenal seperti Tengku Amir Hamzah. Kehilangan para pemikir ini berdampak pada punahnya banyak dokumentasi dan khazanah intelektual Melayu.

Peristiwa kedua yang lebih masif adalah program transmigrasi, terutama perpindahan besar-besaran orang Jawa ke Sumatera dalam waktu singkat. Hal ini mengubah komposisi demografis secara drastis. Kini orang Melayu hanya sekitar 5% dari 15 juta penduduk Sumatera Utara.

Seorang responden menggambarkan dampaknya: "Di Sumatera Utara ada 9 etnis yang berdiam di provinsi ini, lalu ada pendatang. Ada Jawa, Sunda, Arab, Cina, India, Minang... jadi total ada 20 lebih suku. Namun penduduk asli adalah orang Melayu. Sekarang masyarakat Melayu terpinggir, termarjinal... kembali ke kampung."

Bahasa Melayu di Ambang Kepunahan

Salah satu temuan paling mengkhawatirkan adalah ancaman terhadap kelestarian bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Berbeda dengan Malaysia yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan, di Indonesia bahasa Melayu perlahan digantikan bahasa Indonesia standar.

Generasi muda Melayu di perkotaan kini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia di sekolah maupun di rumah. Ini terjadi karena tiga faktor utama: dominasi bahasa Indonesia dalam komunikasi antar-etnis, pernikahan campuran yang mendorong penggunaan bahasa "netral," dan terpinggirnya komunitas Melayu di area perkotaan.

"Sekarang memang kami guna bahasa Indonesia dimana sahaja, kecuali kalau pulang kampung barulah guna bahasa Melayu. Di Malaysia malah bahasa Melayu bahasa utama," ujar salah satu responden, menunjukkan keprihatinan mendalam terhadap erosi linguistik ini.

Paradoks Hubungan dengan Malaysia

Meski mengakui ikatan sejarah yang kuat, termasuk hubungan kesultanan dan kesamaan adat istiadat, orang Melayu Medan menunjukkan sikap yang paradoksal terhadap Melayu Malaysia. Mereka tidak menganggap Melayu Malaysia sebagai kelompok mereka, namun juga tidak memandang mereka sebagai kelompok luar yang berbeda.

Temuan ini bertentangan dengan Teori Identiti Sosial yang umumnya memprediksi bahwa kelompok akan cenderung mengategorikan kelompok lain sebagai "kita" atau "mereka" berdasarkan kesamaan atau perbedaan yang ada.

Responden justru menggunakan Melayu Malaysia sebagai benchmark untuk perbandingan, terutama dalam hal kemajuan pendidikan dan ekonomi. "Beza dengan Malaysia... kalau di Malaysia ada orang Melayu, Cina dan India, jadi persaingan tinggi. Kalau di sini tidak... jadi orang Melayu kami segan-segan, daya tahan juang untuk pendidikan agak lemah."

Strategi Bertahan di Era Modern

Menghadapi tantangan ini, komunitas Melayu di Medan mengembangkan strategi bertahan yang unik. Mereka memperkuat jaringan organisasi berdasarkan asal daerah dan profesi, dari yang bersifat akademis seperti Ikatan Sarjana Melayu Indonesia hingga yang berbasis budaya seperti Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia.

Organisasi-organisasi ini berfungsi ganda: sebagai wadah pelestarian budaya sekaligus jaringan dukungan ekonomi dan sosial. Mereka juga mengembangkan program khusus seperti Telangkai Melayu, yaitu juru bicara adat untuk acara lamaran, mengingat perbedaan dialek antar-daerah.

Toleransi yang tinggi terhadap etnis lain, yang ironisnya menjadi salah satu penyebab terpinggirnya mereka, tetap dipertahankan sebagai bagian dari nilai-nilai Melayu. "Masyarakat Melayu ini cukup toleransi. Siapa pun yang datang tidak terjadi pertikaian atau konflik. Kita tetap duduk sama, rukun damai dengan suku lain... tapi akhirnya terpinggir," ungkap seorang responden.

Baca juga: Pengaruh Islam terhadap Budaya Melayu: Warisan yang Hidup hingga Kini

Penelitian ini mengungkap kompleksitas identitas etnis di era modern yang tidak bisa dijelaskan dengan teori-teori konvensional. Kasus Melayu Medan menunjukkan bahwa kesamaan sejarah dan budaya tidak otomatis menciptakan solidaritas kelompok lintas batas negara.

Temuan ini juga menyoroti tantangan pelestarian budaya minoritas di tengah arus modernisasi dan migrasi internal. Jika tren saat ini berlanjut, identitas Melayu di Sumatera Utara mungkin hanya akan bertahan dalam bentuk budaya material dan ritual keagamaan, sementara bahasa dan praktik sosial sehari-hari perlahan menghilang.

Bagi Indonesia, penelitian ini mengingatkan pentingnya kebijakan yang sensitif terhadap keberagaman etnis lokal. Sementara bagi kawasan ASEAN, temuan ini menunjukkan bahwa integrasi regional tidak bisa hanya mengandalkan asumsi kedekatan budaya, tetapi perlu memahami dinamika identitas yang sesungguhnya di tingkat akar rumput.

Studi ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut tentang bagaimana komunitas etnis lain di Asia Tenggara menghadapi tantangan serupa, dan bagaimana negara-negara dapat mengembangkan kebijakan yang melindungi keberagaman budaya sambil mendorong integrasi nasional.

Baca Juga

Ekonomi Digital Terbukti Jadi Motor Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Ekonomi Digital Terbukti Jadi Motor Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pengaruh Islam terhadap Budaya Melayu: Warisan yang Hidup hingga Kini
Pengaruh Islam terhadap Budaya Melayu: Warisan yang Hidup hingga Kini
Dari Tragedi Karbala ke Pantai Pariaman: Perjalanan Spiritual Tradisi Tabuik
Dari Tragedi Karbala ke Pantai Pariaman: Perjalanan Spiritual Tradisi Tabuik
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Penelitian DNA Membuktikan Kekerabatan Suku Sakai dengan Minangkabau Pagaruyung
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu
Butiran Kaca Bulan Ungkap Aktivitas Geologis 3,6 Miliar Tahun Lalu
Misteri Gulungan Laut Mati: Naskah Kuno 2.000 Tahun dari Gua Qumran
Misteri Gulungan Laut Mati: Naskah Kuno 2.000 Tahun dari Gua Qumran