Helat demokrasi sebentar lagi. KPU sudah mengundi nomor urut peserta Pilpres. Dari nomor tersebut pasangan Capres-Cawapres sudah mulai membranding nomor urut yang diperoleh. Lalu pemilih Sumatera Barat (Sumbar) mau pilih siapa?
Sudah empat kali helat Pilpres namun arah dukungan pemilih Sumbar tidak bisa ditebak. Bahkan analis politik dibuat bingung. Argumentasi yang dikemukakan tidak ada yang bisa menjelaskan fenomena ini.
Merunut dari Pilpres pertama tahun 2004 pemilih Sumbar dan juga Aceh menjatuhkan pilihan pada pasangan Amien Rais - Siswono Yudo Husodo. Setelah pasangan Amien Rais - Siswono Yudo Husodo kalah pada putaran pertama. Pemilih Sumbar mengalihkan dukungan pada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Jusuf Kalla pada putaran kedua.
Berbagai pihak menduga dukungan ke Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla itu dipengaruhi faktor Jusuf Kalla sebagai urang sumando. Namun argumen itu terbantahkan pada Pilpres 2009. Jusuf Kalla yang saat itu maju sebagai Capres berpasangan dengan Wiranto bahkan tidak dilirik pemilih Sumbar. Pasangan SBY - Budiono keluar sebagai pemenang di Sumbar. Muncul dugaan baru, mungkin faktor SBY yang berlatar militer.
Pemilih Sumbar tidak bisa lepas dari figur militer. Asumsi ini pula yang digunakan sebagai motif kemenangan Prabowo di Sumbar dua kali berturut-turut pada Pilpres 2014 dan 2019. Akankah fenomena ini akan terulang di Pilpres 2024?
Kemenangan Prabowo pada tahun 2014 dan 2019 di Sumbar saat itu sedikit-banyaknya di pengaruhi faktor Jokowi. Oleh berbagai lembaga survei merilis masyarakat Sumbar tidak suka pada sosok Jokowi. Benarkah demikian? Sosok Jokowi dengan latar belakang sebagai kader PDIP juga ditengarai menjadi penyebab. Pemilih Sumbar terkesan menghindari apapun berbau PDIP.
Nah, Pilpres 2024 ini akan menjadi ajang pembuktian segala dugaan tersebut. Terlebih pada Pilpres mendatang Prabowo menggandeng Gibran Rakabuming sebagai Cawapres. Semua orang tahu bahwa Gibran adalah putra sulung Jokowi. Apakah faktor Gibran dapat menjadi sebab-musabab menurunnya dukungan Prabowo di Sumbar? Atau malah sebaliknya.
Seandainya memang benar dukungan prabowo turun drastis di Sumbar. Maka benar bahwa Sumbar itu Unpredictable. Bahkan sekelas Jefrrie Geovannie yang punya lembaga survey saja mengatakan “saya lebih pede maju sebagai Cagub DKI Jakarta dibanding Cagub Sumbar”. Menurutnya, Sumbar itu tidak bisa diprediksi, dukungannya tidak berpola, semua acak. Tidak bisa disandingkan dengan Jawa tengah yang selalu Banteng dan Jawa Timur yang mesti NU.
Selalu Tampil Beda
Kemenangan Prabowo pada dua kali Pilpres lalu di Sumbar mungkin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penambahan suara Prabowo. Namun dengan persentase yang besar menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, Sumbar itu Prabowo. Benarkah demikian?
Apabila berkaca ke belakang kita bisa menemukan suatu fenomena. Saat Pilpres 2004 Sumbar memenangkan Amien Rais ketimbang Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Megawati dengan slogannya yang unik, Megapro. Jelas saat itu Amien Rais meraih posisi kunci dibanding Megapro yang berada di urutan kedua. Artinya Amien Rais adalah calon yang tak diunggulkan. Artinya pemilih Sumbar memilih Capres yang Kalah.
Signifikasi persentase suara pemilih Sumbar untuk Prabowo itu aneh. Saat elektabilitas Jokowi membumbung tinggi dengan kemenangan mutlak di atas kertas. Pemilih Sumbar tetap kekeuh menjatuhkan pilihan pada Prabowo. Bahkan untuk yang kedua kalipun tetap tidak beralih pada Jokowi. Meskipun sudah merasakan kekalahan di Pilpres sebelumnya.
Seolah-olah terkesan Sumbar itu berjiwa “penantang”. Selalu menjatuhkan pilihan pada pihak yang kalah. Selalu tampil beda dan tidak suka mengikuti arus. Beberapa kali Pilpres sabetulnya justru menunjukan jiwa karakter keminangannya. Tidak tertarik untuk sedikit menurunkan ego dan bersifat realistis demi kemajuan daerahnya. Bukan rahasia umum lagi jika daerah lumbung suara akan diperhatikan lebih.
Pilihan Sumbar
Sumbar itu unik bahkan bagi sebagian kalangan terkadang aneh. Ingat saat terpilihnya Gamawan Fauzi sebagai Gubernur Sumbar yang diusung oleh PDIP. Saat itu PDIP menyatakan diri sebagai oposisi Pemerintah. Sebaliknya saat PDIP menjadi partai penguasa justru pemilih Sumbar mengalihkan dukungan ke Irwan Prayitno yang merupakan PKS. Semua tahu saat kemenangan Jokowi, PKS langsung mengambil sikap sebagai oposisi pemerintah.
Kecenderungan pemilih Sumbar yang suka berseberangan dan melawan arus tersebut membuat Pilpres ini semakin menarik. Untuk konteks Pemilu pemilih Sumbar itu tidak bisa dipegang, kalo dipegang diibaratkan seperti memegang jerami di permukaan air.
Dari semua fenomena unik tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa pemilih Sumbar itu adalah pemilih yang independen, idealis ketimbang oportunis. Mereka tidak peduli dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap mereka sebagai imbas tidak memilih pemimpin dengan dengan kans menang yang besar. Jika kesimpulan penulis mengenai fenomena ini benar.
Dengan karakter independen Minang nan mendarah daging ini. Berkemungkinan arah dukungan pemilih Sumbar akan beralih. Pada calon dengan kans untuk menang rendah. Capres dengan raihan elektabilitas paling rendah. Siapakah dia?. Meskipun nantinya akan tetap dengan Prabowo namun presentase dukungannya akan jauh turun dari sebelumnya. (*)
Iqbal Sholihin
Pemerhati politik, hukum dan sosial