Cekricek.id - Kerajaan Melayu Kuno merupakan salah satu kekuatan maritim terbesar yang pernah menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Samudera Hindia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerajaan ini berakar dari tiga kerajaan kuno yaitu Koying, Tupo, dan Kantoli yang tumbuh pada abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi.
"Pembahasan sejarah kerajaan Melayu dapat dikatakan sebagai terra incognita dalam kajian sejarah Nusantara," jelas Arif Rahim, Dosen FKIP Universitas Batanghari dalam "Kerajaan Melayu Kuno: Tinjauan Sejarah Jambi Hingga abad 13" (2022). Ungkapan ini tidak berlebihan mengingat pembahasan tentang Kerajaan Melayu berperan sebagai gerbang informasi tentang perkembangan sejarah Nusantara pada milenium pertama abad Masehi.
Tiga Kerajaan Pendahulu: Fondasi Kekuatan Maritim
Kerajaan Melayu berakar pada tiga kerajaan kuno yang telah ada sejak abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi. Kerajaan pertama adalah Koying, yang keberadaannya diketahui dari catatan Kuang-Tai dan Wan-Chen (222-280) serta ensiklopedi Tung-Tien karya Tuyu (375). Wilayah Koying dicirikan oleh keberadaan gunung berapi dan teluk Wen di bagian selatan.
Aktivitas perdagangan Koying sangat intensif dengan wilayah-wilayah di bagian barat dan selatan Sumatera, serta dengan Tonkin dan Funan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-3, kawasan ini telah menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan maritim. Komoditas utama yang diperdagangkan meliputi mutiara, emas, perak, batu giok, kristal dan pinang.
Para ahli sejarah memperkirakan lokasi Kerajaan Koying berada di sekitar Bukit Barisan Sumatera Tengah. Seiring waktu, pusat kerajaan berpindah ke Muara Tebo, dan kemudian ke Kuala Tungkal akibat pendangkalan teluk Wen.
Kantoli: Kerajaan Maritim yang Misterius
Kerajaan kedua yang menjadi cikal bakal Melayu adalah Kantoli. Catatan Cina dari masa pemerintahan Hsiau-Wu (459-464 M) pertama kali mencatat keberadaan kerajaan ini saat rajanya, Sa-pa-la-na-lin-da, mengirim utusan bernama Taruda ke Cina. Hubungan diplomatik Kantoli dengan Cina semakin intensif pada masa Dinasti Liang, ditandai dengan pengiriman utusan pada tahun 502, 519, dan 520 M.
Lokasi pasti Kerajaan Kantoli masih diperdebatkan hingga kini. G. Ferrand menyamakan Kantoli dengan Kandari berdasarkan berita Ibnu Majid tahun 1462 M. Sementara itu, catatan Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan bahwa San-fo-tsi dahulu sama dengan Kandali (Kan-to-li), yang menurut O.W Wolters merujuk pada Sriwijaya di Palembang.
Pendapat berbeda dikemukakan J.L Moens yang mengidentifikasi Kantoli dengan Singkil di pantai barat Aceh. Sementara J.J Boeles berpendapat Kantoli terletak di Thailand Selatan, meski pendapat ini dibantah O.W Wolters karena tidak ditemukannya keramik Cina zaman Sung di daerah tersebut.
Slamet Mulyana mengajukan teori bahwa Kantoli berada di daerah Jambi. Ia mendasarkan pendapatnya pada analisis linguistik, membandingkan toponim Kandala atau Kantoli dengan nama-nama daerah di India seperti Bengala-Benggali, Gandhara-Gandhari, dan Kuntala-Kuntali.
Tupo: Kerajaan yang Terlupakan
Meski tidak banyak catatan yang tersisa tentang Kerajaan Tupo, keberadaannya tidak kalah penting dalam pembentukan Kerajaan Melayu. Beberapa sejarawan mengidentifikasi Tupo dengan kawasan Tebo yang kini berada di Provinsi Jambi. Letaknya yang strategis di tepian Sungai Batanghari menjadikannya titik penting dalam jalur perdagangan sungai yang menghubungkan pedalaman Sumatera dengan pelabuhan-pelabuhan di pesisir timur.
Kemunculan dan Kejayaan Kerajaan Melayu
Keberadaan Kerajaan Melayu sebagai entitas politik mandiri pertama kali tercatat dalam dokumen Dinasti Tang tahun 644-645 M, yang mencatat kedatangan utusan dari Mo-lo-you. Perkembangan kerajaan ini dapat diketahui lebih detail melalui catatan perjalanan pendeta Buddha I-Tsing antara tahun 671 dan 685 M.
Dalam catatannya, I-Tsing menggambarkan Melayu sebagai pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan maritim antara Cina dan India. Ia singgah di Melayu dua kali: pertama selama dua bulan dalam perjalanannya ke India tahun 671/672 M, dan kedua selama enam bulan saat kembali ke Cina tahun 685 M.
Perdebatan Lokasi Pusat Kerajaan
Perdebatan tentang lokasi pusat Kerajaan Melayu masih berlangsung hingga kini. Soekmono berpendapat pusat kerajaan berada di Jambi, mengacu pada teori Obdeyn tentang garis pantai Jambi purba. Menurutnya, pada abad ke-7 pelabuhan Jambi berada di pinggir pantai, tepatnya di sebuah teluk yang menjorok ke pedalaman. Teori ini diperkuat oleh berita Ptolomeous yang menyebutkan adanya tiga pulau di Teluk Jambi pada awal tarikh Masehi.
Namun teori ini mendapat sanggahan berdasarkan penelitian geologi. Para ahli mencatat bahwa pertumbuhan daratan di daerah Sumatera bagian timur hanya berkisar 10-30 meter per tahun. Dengan demikian, untuk mencapai jarak 100 kilometer (jarak antara Tebo dan garis pantai timur Sumatera) diperlukan waktu yang sangat lama, jauh sebelum masa Kerajaan Melayu.
Slamet Mulyana mengajukan teori berbeda dengan menempatkan pusat Kerajaan Melayu di Muara Tebo. Ia mendasarkan pendapatnya pada analisis etimologis kata Melayu yang berarti bukit, yang menurutnya tidak cocok dengan kondisi geografis Jambi yang relatif datar. Mulyana membedakan antara pusat pemerintahan dengan pelabuhan Melayu, seperti halnya Singhasari dan Majapahit yang memiliki pusat kerajaan terpisah dari pelabuhannya.
Masa di Bawah Pengaruh Sriwijaya
Catatan I-Tsing tahun 685 M menandai perubahan status Melayu yang jatuh ke dalam kekuasaan Sriwijaya. Penaklukan ini dikonfirmasi oleh dua prasasti peninggalan Sriwijaya: prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka (686 M) dan prasasti Karang Brahi di hulu Batang Merangin. Kedua prasasti ini berisi kutukan bagi mereka yang tidak tunduk pada kekuasaan raja Sriwijaya.
Meski berada di bawah kekuasaan Sriwijaya, pelabuhan Melayu tetap memainkan peran penting dalam jalur perdagangan maritim. Hal ini menunjukkan kebijakan Sriwijaya yang cenderung mempertahankan fungsi ekonomi wilayah-wilayah taklukannya sambil mengamankan kepentingan politiknya.
Kebangkitan dan Masa Kejayaan
Tanda-tanda kebangkitan Melayu mulai terlihat pada abad ke-11, setelah Sriwijaya mengalami kemunduran akibat serangan Kerajaan Cola dari India. Berita Sung-hui-yao mencatat bahwa pada tahun 1082, Sun-Chiang selaku Wakil Kepala Urusan Pengangkutan dan Dagang di Cina menerima surat dari raja Chan-pi (Jambi) dan dari putri raja yang mengawasi urusan negara San-fo-tsi.
Memasuki abad ke-13, Kerajaan Melayu tampil sebagai kekuatan dominan di Sumatera. Pusat kerajaan saat itu telah berpindah ke Dharmasraya di wilayah hulu Sungai Batanghari. Periode ini menjadi saksi hubungan diplomatik yang intensif antara Melayu dengan kerajaan-kerajaan besar lainnya di Nusantara.
Ekspedisi Pamalayu dan Hubungan dengan Singhasari
Salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah Melayu adalah Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh Kerajaan Singhasari pada tahun 1275. Para ahli sejarah menafsirkan ekspedisi ini sebagai langkah strategis Raja Kertanegara untuk mengantisipasi ekspansi Kerajaan Mongol di bawah Kubilai Khan yang berusaha menguasai Asia Tenggara.
Hasil ekspedisi ini adalah terjalinnya hubungan diplomatik yang erat antara Melayu dan Singhasari. Bukti konkret dari hubungan ini adalah pengiriman arca Buddha Amoghapakokesra beserta empat belas pengiringnya ke Dharmasraya. Arca ini disambut dengan sukacita oleh raja Melayu saat itu, Srimat Tribhuanaraja Mauliwarmadewa.
Transformasi di Bawah Adityawarman
Memasuki abad ke-14, di bawah kepemimpinan Adityawarman, Kerajaan Melayu mengalami transformasi besar. Pusat kekuasaan dipindahkan ke Pagaruyung, yang menjadi pusat alam Minangkabau. Era ini menandai fase baru dalam sejarah Melayu yang kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Minangkabau.
Warisan Budaya dan Peradaban
Kerajaan Melayu Kuno meninggalkan warisan penting dalam bentuk peninggalan arkeologis dan pengaruh budaya yang masih dapat ditelusuri hingga kini. Temuan keramik dari Dinasti Sung di sekitar Dharmasraya membuktikan intensitas hubungan dagang antara Melayu dengan Cina. Selain itu, pengaruh budaya India terlihat kuat melalui penggunaan bahasa Sanskerta dan penyebaran agama Buddha di wilayah kekuasaan Melayu.
Pengaruh dalam Perdagangan Maritim
Posisi strategis Kerajaan Melayu di jalur perdagangan internasional menjadikannya pusat pertukaran ekonomi dan budaya antara peradaban Timur dan Barat. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah Melayu menjadi tempat persinggahan penting bagi kapal-kapal dagang yang berlayar antara Cina dan India.
Berdasarkan teori set of sets yang digunakan oleh K.N Chaudhuri dalam membahas jalur perdagangan Samudera Hindia, interaksi maritim ini melibatkan berbagai elemen seperti para pelaut, pedagang, dan masyarakat lokal. Jalur perdagangan ini dipengaruhi oleh sistem angin musim di Asia tropis yang menjadi panduan bagi para pedagang dalam menentukan waktu pelayaran.
Warisan Hingga Kini
Meski Kerajaan Melayu Kuno telah lama berlalu, pengaruhnya masih dapat dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di wilayah bekas kekuasaannya. Situs-situs bersejarah di Jambi, Dharmasraya, dan Pagaruyung menjadi bukti fisik kejayaan masa lalu sekaligus sumber pembelajaran sejarah yang berharga.
Baca juga: Eksistensi Trowulan: Menyingkap Kejayaan Majapahit di Era Rajasanagara
Kesimpulan
Perjalanan sejarah Kerajaan Melayu Kuno menunjukkan dinamika yang menarik, mulai dari kemunculannya dari tiga kerajaan pendahulu, masa di bawah pengaruh Sriwijaya, hingga kebangkitannya kembali sebagai kekuatan dominan di Sumatera. Perpindahan pusat kekuasaan dari Jambi ke Dharmasraya, dan akhirnya ke Pagaruyung, mencerminkan kemampuan adaptasi kerajaan ini dalam menghadapi perubahan politik dan ekonomi.
Kerajaan Melayu Kuno tidak hanya meninggalkan warisan dalam bentuk artefak dan situs bersejarah, tetapi juga memberikan pengaruh mendalam terhadap perkembangan politik, ekonomi, dan budaya di kawasan Sumatera. Jejak-jejak kejayaannya masih dapat ditelusuri melalui berbagai peninggalan arkeologis dan tradisi yang hidup dalam masyarakat hingga saat ini.
Studi tentang Kerajaan Melayu Kuno terus berkembang seiring dengan ditemukannya bukti-bukti arkeologis baru dan interpretasi yang lebih mendalam atas sumber-sumber sejarah yang ada. Hal ini membuka peluang bagi pemahaman yang lebih baik tentang peran penting kerajaan ini dalam sejarah maritim Nusantara.