Cekricek.id - Di tengah gelombang waktu, ada sosok yang mengukir tinta sejarah dalam kehidupan militer dan politik Indonesia: Daan Jahja, seorang putra asli Padang Panjang, Sumatera Barat. Kisahnya adalah refleksi dari sejarah, perjuangan, dan kehormatan.
Diumumkan oleh Dinas Penerangan Angkatan Bersenjata, Daan Jahja terpilih sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Kairo, Mesir. Tanggal 18 November 1954 menjadi tanda keberangkatannya, menumpang kapal Willem Ruys dari Koninklijke Rootterdamsche Lloyd. Di tanah Mesir, ia bertugas kurang lebih dua tahun, sebuah periode yang dipenuhi dedikasi dan integritas.
Letkol Bustomi, sesama prajurit Angkatan Darat, menggantikan posisi Daan Jahja pada 12 Juni 1956. Momen penggantian ini menjadi simbolis, sebuah pergantian estafet dalam menjaga nama baik bangsa di kancah internasional.
Kembali ke Jakarta, Daan Jahja mendapatkan kenaikan pangkat menjadi kolonel oleh Kepala Staf Angkatan Darat Walikota Jendral Nasution pada Kamis, 5 Juli 1956. Tak hanya berdedikasi dalam militer, Jahja juga menjadi staf pengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung, mengajarkan ilmu administrasi militer.
Fliolog Suryadi dalam Overste Daan Jahja Menjadi Atase Militer Indonesia di Kairo (1954), menyebutkan Daan Jahja, lahir pada 5 Januari 1925, adalah anak dari Jahja Datoek Kajo, anggota Volksraad yang terkenal vokal dan pionir dalam penggunaan Bahasa Melayu. Daan sendiri mengawali karir militer melalui PETA pada 1944. Ia memiliki peran penting dalam gerakan kemerdekaan, termasuk penumpasan gerakan Westerling, dan menjadi Gubernur Militer Jakarta pada usia 24 tahun.
Pelayanan Daan Jahja bagi bangsa dan negara adalah perjalanan panjang yang melintasi era, dari masa pendudukan Jepang hingga masa kemerdekaan.
Meninggal pada 20 Juni 1985, Daan Jahja, putra Minangkabau asal Koto Gadang, meninggalkan jejak yang abadi. Dalam dirinya, kita melihat refleksi dari bangsa yang gigih, kuat, dan bermartabat.